-SATU-

521 50 27
                                        

~Harusnya aku menyerah di saat hati masih meminta untuk patah lagi~

Nata melepas dasi sekolah abu-abunya dan mengikatnya di kepala. Kebiasaan gadis itu saat merasakan sakit kepala. Harusnya nyeri itu tidak berpindah pada hatinya, tetapi perlakuan seorang cowok bernama Tirta lah yang membuat Nata kembali merasakan sakit. Nata memalingkan wajah agar tidak melihat pemandangan manis di ujung lapangan.

Lapangan sekolah yang dipenuhi oleh euforia kelulusan siswa-siswi kelas dua belas SMA Nusa Bangsa justru tidak dirasakan oleh Nata. Gadis itu lebih memilih menjauhkan diri dari keramaian, ia sudah tidak bisa merasakan apa pun selain rasa sedih. Melihat Disya bersama Tirta sudah cukup merusak mood-nya hari ini.

"Berbicara sendiri namanya monolog, berjuang sendiri namanya bego." Nata tertawa hambar saat mengucapkan kalimat yang pernah Tirta posting di sebuah media social.

"Sialnya gue kesinggung," ucap Nata saat kembali melihat Tirta dan Disya tertawa bersama. Setelah itu, ia kembali ke kelasnya untuk mengambil tas dan tak lupa berpamitan pada teman-teman karena sesi foto bersama sudah selesai.

***

"Bareng?" Nata tersentak kaget saat tiba-tiba suara yang sangat ia kenali terdengar di gendang telinganya.

Nata melihat Tirta berhenti tepat di sebelahnya bersama motor matik berwarna putih. Gadis itu menengok ke arah gerbang sekolah dan mendapati kedua sahabatnya tertawa bahagia. Nata tahu ini adalah kerjaan dua sahabatnya.

"Gak usah, kita gak searah," tolaknya berusaha terlihat tidak minat dengan tawaran Tirta.

Tirta menyapu keringat di dahi menggunakan punggung tangan kirinya. Jika Nata terlihat tidak peduli, maka cowok itu mencoba terlihat santai meski sebenarnya Tirta merasa aneh mengajak Nata pulang bersama.

Sebagai teman sekelas, ia hanya ingin membantu gadis itu. Ini semua karena permintaan kedua teman dekat Nata yang membujuknya agar mau mengantar gadis itu pulang. Mereka mengatakan bahwa Nata harus pulang jalan kaki karena motornya rusak dan gadis itu lupa membawa uang.

"Santai aja, semua rumah teman sekelas udah gue tahu. Rumah lo aja yang belum gue tahu." Tirta berusaha mencari alasan agar Nata tidak menolak lagi.

Nata mengembuskan napas pelan. "Gue berat, lho."

"Alesan lo gak gue terima. Cepetan!" perintah Tirta. Cowok itu sudah tidak mau lagi mendengar berbagai alasan dari gadis di depannya.

"Jangan salahin gue kalau ban motor lo kempes." Nata berusaha menetralkan degup jantugnya. Kedua tangan dan kaki sudah dingin. Ini adalah pertama kalinya Nata berboncengan dengan Tirta selama tiga tahun menjadi teman sekelas.

Laki-laki itu melihat wajah Nata melalui kaca spion. Bibirnya menampakkan senyum tipis karena melihat wajah tegang si penumpang. Ia tahu selama ini Nata tidak pernah sedekat ini dengan cowok, meski gadis itu terbilang tomboi, tetapi pergaulannya tidak seperti cewek tomboi kebanyakan.

Bergaul dengan banyak lawan jenis bukanlah sifat Nata. Setahu Tirta, Nata adalah gadis yang sangat tertutup, bahkan untuk sekedar curhat dengan teman dekatnya pun Nata sangat jarang sekali melakukannya.

"Stop!" perintah Nata saat tiba di depan sebuah rumah.

"Ini rumah lo?" tanya Tirta.

Nata mengangguk mengiyakan. Tirta balas mengangguk tanda mengerti. Kemudian cowok itu kembali melihat Nata yang malah menampakkan raut tidak tenang dengan wajah pucat.

"Lo kenapa, sih?"

Gadis itu terkesiap lantas mengedipkan kedua matanya berulang kali hingga cowok itu tertawa sembari menyalakan mesin motor.

Jurnal Biru ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang