~Akhir-akhir ini hobiku adalah memikirkanmu~
"Gimana, Ta, udah cocok gak gue sama Nata?"
Tirta memasang raut tak peduli saat Arsyad kembali merangkul Nata. Namun, ekspresi tersebut tak berlangsung lama kala gadis di depannya kembali melepas tangan Arsyad dengan wajah tidak suka. Seketika Tirta menyunggingkan senyum miring diikuti ketidaksukaan yang sedikit demi sedikit menghilang dari dalam hati.
Melihat respons Tirta, Arsyad berujar hingga menimbulkan tanya pada dua manusia sepantaran di dekatnya. "Gue mundur aja. Payung gak mungkin menang lawan jas hujan."
Saat Nata hampir bersuara, Tirta lantas berucap, takut jika gadis itu menanyakan hal tidak-tidak pada Arsyad dan cowok kurang kerjaan yang notabene adalah sepupunya malah mengungkap sesuatu yang masih menimbulkan bimbang pada pikiran.
"Dari mana lo? Dicariin sama nyokap gue malah ngilang gitu aja," dengkus Tirta seraya berkacak pinggang.
Yang ditanya tak langsung menjawab, melainkan membisiki Nata yang sedari tadi hanya diam. Tak lupa ia sedikit mengeraskan suara agar Tirta dapat mendengar perkataannya. "Ada yang lagi bimbang." Arsyad beralih menatap Tirta. Cowok itu sedang mengepalkan tangan karena jengkel.
"Gue dari beli makanan ringan pesanan adik lo," lanjutnya sembari mengangkat kantongan besar berisi berbagai jenis camilan, tak lupa menaik turunkan alis, bermaksud menyentil emosi cowok ber-jeans selutut di depannya.
"Bimbang?" gumam Nata, tetapi masih terdengar jelas oleh kedua cowok di sekitarnya.
Tirta meraup wajah frustrasi. Ingin sekali tangannya memberi bogem mentah, tetapi terhalang oleh kehadiran Nata. Entah mengapa ia emosi melihat Arsyad duduk berdampingan bersama seorang gadis yang ia sebut sahabat. Duduk bersebelahan dengan Nata adalah aktivitas yang hampir ia lakukan selama sebulan. Ada rasa tidak rela jika melihat cowok lain sekalipun sepupunya berdekatan dengan gadis itu.
"Gak usah dengerin si Sat. Dia suka ngelantur kalau ngomong," elak Tirta seraya menjatuhkan tubuh di sebelah kanan Nata.
Kini posisi gadis itu berada di tengah. Ia bingung antara menghindar atau tetap duduk di antara dua cowok berbeda penampilan itu. Nata hanya tahu bahwa jantungnya memompa darah lebih cepat kali ini, sudah pasti karena Tirta merangkulnya dan menatap Arsyad dengan tatapan tajam.
"Hati-hati, Nat. Bisa jadi dia suka sama lo, tapi gengsi buat ucapin," pungkas Arsyad, lalu bangkit dari posisinya. Ia memandang Nata dan Tirta secara bergantian. Sepersekian detik, senyum manis terpahat di wajah cowok itu meski terkesan terpaksa.
Ini adalah bukti ketulusan hati untuk seorang gadis yang tak akan pernah mencintainya. Ia melakukan ini semua untuk menyadarkan Tirta bahwa perasaan yang 'tlah terkubur lama bisa saja bangkit tanpa disadari. Arsyad pikir satu bulan merupakan waktu yang memungkinkan manusia untuk jatuh cinta karena terbiasa bersama. Maka dari itu, ia membuktikan perkiraannya malam ini, dan hasilnya Tirta berhasil masuk ke dalam perangkap. Cowok itu mulai memunculkan ketidaksukaan karena ia mendekati Nata.
Selain itu ia melakukan ini karena ingin melihat Nata bahagia bersama seseorang yang telah dicintainya selama bertahun-tahun. Ia tidak ingin melihat gadis itu tersiksa menahan rasa lebih lama. Arsyad tahu betul rasanya mencintai tanpa dicintai kembali, sungguh sangat tidak menyenangkan.
Tak ingin berlama-lama, Arsyad berderap lebar meninggalkan dua insan di sana. Tugasnya telah selesai, sekarang biarkan Tirta menyadari perasaan itu seiring berjalannya waktu, dan Arsyad akan mencari jalan lain untuk melupakan sosok Nata.
"Lo kenapa, sih!" Itu bukan pertanyaan, melainkan pernyataan tidak suka. Nata tidak mau benteng pertahanan dirinya malah hancur begitu saja karena sebuah kemungkinan yang kini memaksa otak untuk berpikir keras, tetapi ia berulang kali menampik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jurnal Biru ✓
Teen FictionNata melempar jurnal birunya kesal. Bagaimana tidak, usahanya untuk melupakan Tirta semakin sulit ia lakukan. Semakin ia ingin menjauh maka semakin Tirta menariknya. Hingga Tuhan pun membantu Nata untuk benar-benar menjauh dari Tirta saat cowok itu...