~Aku percaya ada trauma meski pada hal sederhana~
"Nata dari rumah teman," jawab Nata apa adanya. Hawa tegang semakin terasa mengelilingi mereka semua.
Adam menatap anaknya yang sedang terdiam di ambang pintu, lalu terkekeh. "Tidak usah tegang gitu. Ayah tidak marah sama kamu. Tapi, lain kali kabarin Ayah, jangan Kakak kamu." Perkataan Adam sontak membuat Nata membulatkan matanya, tidak percaya dengan apa yang ia dengar.
Nata ingin menjawab, tetapi bayang-bayang ayahnya saat berkata kasar kepada sang ibu seketika menyeruak, membuatnya urung berbicara dan berakhir dengan anggukan tanda mengerti. Sebelum berlalu dari ruang tamu, ia sempat menatap kedua saudaranya, sibuk dengan ponsel masing-masing.
"Kamu hari ini ada kuliah, Nak?" tanya Hana kepada Nata yang baru tiga langkah melewati ruang tamu.
"Iya, Bu. Hari ini setelah salat zuhur," katanya.
Hana mengangguk mengerti. "Ya udah kalau gitu, kamu makan dulu," suruh Hana.
Akan tetapi, ia belum beranjak. Seolah-olah ada sesuatu mendesaknya agar mengucapkan kalimat yang sedari tadi tertahan di tenggorokan. Nata menoleh ke arah Adam, membuat Hana mengernyit heran.
"Ayah jangan ngomong kasar lagi sama Ibu," pinta Nata hingga membuat Adam sontak mendongak dari koran di hadapannya ke arah Nata.
Hening. Semua atensi tertuju pada Nata, tetapi tak ada respon dari mereka semua. Hingga sang kakak mengode Nata untuk segera masuk. Nata pun kembali mengayunkan kedua kakinya ke ruang paling nyaman di rumah ini, kamarnya.
"Maafin Nata, Mas," pinta Hana, melihat sang suami hanya diam berusaha mencerna kalimat anaknya.
"Emang Nata salah apa, Bu, sampai harus dimaafin?" tanya Lia, tak lupa menyuguhkan senyum miring.
"Ka-" ucapan Hana menggantung kala si bungsu tiba-tiba bangkit dari duduknya.
"Awan pergi dulu ke rumah temen. Pengen ngerjain tugas kelompok," izin Awan pada orang tuanya. Ia lalu menyalim tangan ayah juga ibunya.
Dalam hati, Awan terus merapal maaf karena terpaksa berbohong. Ia hanya tidak ingin mendengar celotehan-celotehan ibu dan kakaknya, mempertentangkan sikap sang Ayah yang kerap kali marah-marah tidak jelas. Sedangkan Lia, wanita berumur dua puluh enam tahun itu langsung berlalu dari ruang tamu, tidak ingin berdebat panjang dengan ibunya.
***
Sudah kali keempat ponsel Tirta berpindah dari meja ke tangannya. Tirta mengacak rambutnya frustrasi. Ia belum mengirim pesan pada Nata, tetapi tangannya sudah mendingin dan terasa kaku. Entah kenapa, semenjak memutuskan untuk menjalin persahabatan dengan Nata, ia menjadi tidak tenang seperti ini.
"Elah, gue kenapa, sih? Gini doang kayak pengen nembak aja," kesal Tirta dan pada akhirnya memutuskan untuk mengirimkan Nata pesan.
Tirta: Hari minggu lo kuliah?
Tirta tertawa setelah mengirim pesannya pada Nata. Seharusnya ia langsung mengatakan yang sebenarnya, tidak menjadikan tugas gadis itu sebagai jembatan untuk mengajak Nata menjalin persahabatan. Aneh memang, ia sendiri tidak tahu kenapa mengambil langkah ini. Tirta hanya mengikuti kata hatinya, melakukan apa yang ia inginkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jurnal Biru ✓
Teen FictionNata melempar jurnal birunya kesal. Bagaimana tidak, usahanya untuk melupakan Tirta semakin sulit ia lakukan. Semakin ia ingin menjauh maka semakin Tirta menariknya. Hingga Tuhan pun membantu Nata untuk benar-benar menjauh dari Tirta saat cowok itu...