~Mungkin cobaan untuk persahabatan atau mungkin sebuah takdir Tuhan~
"Nata!" Tirta lantas mendekati Nata yang sedang meringis kesakitan. Ia memperbaiki letak almamaternya di pundak, setelah itu memapah Nata untuk duduk di kursi halte.
"Punya hobi diganti kali, Nat. Masa iya jatuh mulu," olok Tirta diiringi tawa garing.
Nata tidak menggubris perkataan Tirta. Entah mengapa seluruh sarafnya terasa kaku. Gugup dan malu bercampur jadi satu. Jantungnya semakin berdetak cepat kala Tirta melepas ransel dari pundaknya untuk mengurangi beban. Sementara itu, Tirta hanya memasang wajah datar, tidak tahu saja ada organ tubuh yang tak bekerja dengan normal karena ulahnya.
Beberapa kali gadis itu mengerjap. Rasa ingin hilang begitu saja melintas dalam pikiran. Ia menggigit daging bibir dalamnya sebagai pelampiasan kegugupan.
"Bengong doang. Ngomong, kek, kenapa lo ada di sini? Atau lo punya saudara sekolah di sana?" Nata mengikuti telunjuk Tirta ke arah sekolah dasar yang sedang ramai oleh aktivitas murid-murid di waktu istirahat.
Gadis itu mendesah berat, sudah ia duga pertanyaan demikian akan meluncur dari bibir cowok di sebelahnya. Nata mencoba memutar otak, menemukan kebohongan seperti apa yang harus diucapkan agar terdengar tidak mengada-ada untuk orang logis seperti Tirta.
Ia berdeham, tiba-tiba kerongkongannya terasa kering. "Lagi ada tugas penelitian dari komunitas gue," pungkasnya sembari berusaha menggerakkan kaki.
Tirta tidak lagi bertanya padahal ia sendiri masih ingin melayangkan pertanyaan, tetapi hanya ada anggukan mengerti. Perhatiannya tersita, mengamati gurat serius gadis itu. Kedua alis Nata menyatu, mata memandang lurus kedua kakinya. Sekilas peristiwa saat Nata terjatuh di lapangan kembali merebak.
Aneh banget, batin Tirta.
"Gak bisa gerak lagi?" tanya cowok itu. Nata sontak mendongak. Raut terkejut dapat Tirta lihat, tetapi dalam hitungan detik gadis itu mengubah ekspresi wajah.
"Mungkin dia lelah," cicit Nata, membuat Tirta tergelak.
"Dih, malah ketawa," sungut gadis itu, "emang lucu?" Wajah polos Nata kontan membuat cowok berambut berantakan itu menyemburkan tawa lepas.
Sisi lain Tirta aneh banget, takjubnya.
Suara tawa menguap di udara saat Nata memandangnya seolah bertanya. Tirta menggaruk tengkuk, tiba-tiba suasana berubah menjadi canggung. Bunyi kendaraan dan teriakan murid-murid sekolah dasar yang tengah bermain beradu jadi satu. Akan tetapi, bagi mereka berdua tempat itu tetap sepi tanpa ada hiruk pikuk kehidupan.
Tak ada yang berinisiatif memecah keheningan di antata mereka. Masing-masing menyelami otak, mencari kosakata yang entah kenapa sangat sulit ditemukan. Tirta benci kecanggungan, sementara Nata tidak betah berada dekat dengan Tirta, jantungnya bisa-bisa terlepas dari tempatnya.
Hingga akhirnya Tirta lebih dulu membuka suara. "Gue putus sama Disya." Tak ada respons berarti dari gadis di sampingnya. Hanya ada anggukan pelan dalam durasi singkat.
"Lo gak kaget?" heran Tirta. Ia pikir gadis itu akan menyuguhkan ekspresi tidak percaya.
"Disya bilang sama gue. Dia tahu kalau gue mata-matain dia. Sori, karena gue hubungan lo kandas."
Cowok berkemeja putih itu menatap Nata dengan tatapan menuntut, meminta penjelasan lebih. Nata membuang napas kasar, sangat tidak mengenakkan berada di posisi seperti ini. Rasa bersalah dan senang memang bercampur menjadi satu, tetapi rasa kasihan jauh lebih kuat kala melihat wajah kecewa Tirta.

KAMU SEDANG MEMBACA
Jurnal Biru ✓
Novela JuvenilNata melempar jurnal birunya kesal. Bagaimana tidak, usahanya untuk melupakan Tirta semakin sulit ia lakukan. Semakin ia ingin menjauh maka semakin Tirta menariknya. Hingga Tuhan pun membantu Nata untuk benar-benar menjauh dari Tirta saat cowok itu...