Derap langkah berat menyusuri pemakaman di sore hari. Awan gelap menggantung di atas kepala, tetapi tak menghalangi orang itu untuk mengunjungi sebuah nisan yang telah ada selama empat tahun. Tungkai berbalut sepatu kets tepat berhenti di depan makam bermarmer biru gelap.
Tangannya tak hampa, ada sebuah buku dan sekantung bunga tabur yang dibeli di gerbang masuk tempat pemakaman umum ini. Benda itu diletakkan di atas nisan, lalu ia berdoa sangat khusyuk. Setelah selesai, cowok itu lalu menaburkan bunga. Sudah terhitung empat kali ia ke sini, mengunjungi sesosok tubuh yang telah melebur menjadi tanah.
"Gue datang lagi, maaf karena gak bisa tiap hari." Ucapan itu lagi, setiap kali ke sini Tirta selalu berucap demikian untuk memulai pembicaraan.
"Semenjak lo pergi, gue juga pergi ke negera lain biar gak terus-terusan ingat lo, tapi pada kenyataannya gue selalu gagal. Seperti yang selalu lo ungkapin di jurnal biru ini." Jeda sejenak, lalu kembali melanjutkan, "Sekuat apa pun gue menjauh, melupakan, tetap aja gue selalu balik ke lo."
Tawa sumbang seketika berderai diiringi air mata. Sesak merengkuh dada, menyekap oksigen yang ingin memberi kehidupan. Ia sangat menyesali semua, kenapa perasaan itu harus ia kubur dulu, kenapa ia tak pernah jujur saja waktu itu kalau sebenarnya ia menyukai seorang gadis cuek, manis, dan kaku saat pertama kali bertemu.
Tirta menutup kedua matanya menggunakan telapak tangan, tangisan semakin menjadi-jadi, pukulan masa lalu terlalu menyakitkan untuknya. Semenjak Nata pergi ia menjadi hilang rasa, pintu hati pun terkunci, semua menjadi kaku dan dingin setelah sebelumnya pernah cair meski hanya sebentar karena kehadiran gadis itu.
"Sekarang umur gue dua puluh empat tahun, Nat. Andai lo masih hidup mungkin kita bisa menjadi pasangan paling bahagia. Tapi, takdir berkata lain. Mungkin gue terlalu jahat karena biarin lo nunggu terlalu lama, bahkan harus sakit hati berulang-ulang karena kedekatan gue sama Disya. Maaf, Nat ... maaf juga karena gue ninggalin Indonesia dan memilih ke Barcelona buat nenangin diri, berkelana bersama guliran waktu yang mungkin akan membawa gue pada satu momen melupakan kenangan yang tak bisa dikatakan manis antara kita, Nat."
Desahan napas panjang menutup keluhannya. Tak ada lagi yang bisa ia katakan, kesedihan selalu memuncak jika ia berada di tempat ini. Saat ingin beranjak, kedua iris cokelat gelap itu hampir melupakan jurnal biru yang selalu ia bawa ke mana pun ia pergi. Ia menyimpan buku itu seperti permintaan Nata. Entah dorongan dari mana, kali ini Tirta berinisiatif membaca beberapa tulisan Nata di sini.
Lembar demi lembar ditetesi oleh air matanya. Bagaimana tidak, di buku itu Nata menuliskan awal mula mencintai Tirta. Kertas-kertas buku itu sudah lusuh, mulai berganti warna menjadi kuning. Tinta biru mengisi penuh tiap garis, tak jarang ada yang mulai mengabur karena air mata. Tirta tidak mengetahui seberapa selalu ia membaca buku di genggamannya, yang ia tahu setiap kali dihantui oleh bayangan Nata, cowok itu sigap meraih benda tersebut kemudian membacanya dalam diam.
Senyum dan murung datang silih berganti, menemani Tirta mengkhatamkan juru bicara hati Nata. Akan tetapi, lara hati selalu mendominasi hari-harinya kala ia merindukan gadis yang tak akan mungkin kembali lagi ke dunia.
Di pertengahan buku tangan kurus itu berhenti. Sebelum membaca isinya, Tirta membuang sesak dan menyuruh pikiran dan hati untuk tegar, lalu ia mulai membaca bait demi bait rangkaian kata yang tertulis pada tahun 2017, di mana pada saat itu mereka masih kelas sebelas.
"Sungguh, aku ingin mundur saja. Lelah mengejar ketidakpastian dan engkau yang malah mengharapkan orang lain. Aku ingin melepas karena hati telah mengelupas perih. Namun, sekali lagi aku tetap tak bisa meski ragaku ingin kau pergi."
Seulas senyum tipis bermakna sendu terpahat di wajah setelah membaca kalimat itu. Raga benar-benar terpukul karena rangkaian kata tersebut. Tirta semakin mencengkram erat buku itu sembari memejamkan mata rapat-rapat, menikmati badai angin pembawa hujan, meskipun sampai saat ini rintik air dari langit belum juga membasahi bumi.
Sekali lagi, cowok itu membuka halaman terakhir. Di sana terdapat sebuah kalimat yang membuatnya seperti hidup kembali setelah didera perih tak berujung.
"Kadang mereka tidak sadar betapa bahagia, beruntungnya mereka. Hanya saja sesalnya jauh lebih terasa dan tak ingat bersyukur. Banyak kisah yang lebih menyakitkan, tapi mereka nyaman membesarkan hal yang sudah-sudah."
Perasaan berat kini perlahan terangkat. Tirta menutup buku itu dan menggenggamnya erat. "Makasih, Nat. Bahkan karena tulisan lo gue bisa kembali tegar. Lo benar, banyak kisah lebih menyakitkan, tapi kami yang masih hidup terkekang nyaman membesarkan hal yang seharusnya jadi pelajaran untuk masa depan."
"Teruntuk lo, Syanesa Arnata, makasih karena udah hadir dalam hidup gue. Perlu lo tahu kalau perasaan gue gak pernah luntur buat lo. Istirahat yang tenang my lovely friend ."
Hujan turun bersama kepergian Tirta dari makam. Ya, kali ini pertemuan beda alam membuat cowok itu lebih tegar. Manusia tak boleh terkungkung pada masa lalu, sekalipun sakit kita harus tetap maju bersama perih karena senang 'kan tetap membersamai.
THE END
📘
.
The thirtieth day ODOC wH
This is the last chapter, hope you like it😥😂
.
Btw apa tanggapan kalian tentang cerita ini?
Kalau cerita ini memang layak dibaca, mungkin bisa direkomendasikan buat teman-teman kalian juga.
Buat kalian yang baca cerita ini dari awal sampai akhir dan selalu memberi dukungan, saya ucapkan terima kasih banyak. Kalian benar-benar membuat karya saya lebih berarti dan memberi saya semangat untuk melanjutkan cerita ini sampai akhir.Sekali lagi terima kasih buat kalian.
Salam Persona dan juga karakter-karakter dari cerita ini, terutama Nata dan Tirta.See you in the next story👋
KAMU SEDANG MEMBACA
Jurnal Biru ✓
Ficção AdolescenteNata melempar jurnal birunya kesal. Bagaimana tidak, usahanya untuk melupakan Tirta semakin sulit ia lakukan. Semakin ia ingin menjauh maka semakin Tirta menariknya. Hingga Tuhan pun membantu Nata untuk benar-benar menjauh dari Tirta saat cowok itu...