~Rambat sang waktu berganti, endapkan laraku di sini. Coba tuk lupakan, bayangan dirimu yang selalu saja memaksa tuk merindumu~
Dua manusia berbeda generasi terlihat bercanda satu sama lain di taman belakang rumah sakit, tepatnya di bawah pohon peneduh. Lalu lalang pasien beserta suster di tambah celetukan sang ayah menjadi hiburan tersendiri bagi Nata.
Aktivitas mereka terganggu kala kedatangan seseorang yang begitu cekatan meminggirkan kursi roda di mana Nata terduduk hingga gadis itu menampakkan wajah terkejut bukan main. Kini posisinya berada di belakang punggung Adam dan Awan—duduk menghadap gedung rumah sakit. Mereka tergelak karena tingkah usil Awan barusan.
Sementara Nata cemberut seraya menarik keras rambut adik satu-satunya sehingga jerit minta ampun terdengar memekakkan telinga. Gadis itu belum puas menyiksa Awan, tetapi perlahan tangan yang menarik kuat rambut pendek adiknya perlahan melemah, dalam hitungan detik terkulai begitu saja di samping kursi roda.
Awan berhenti berteriak, ia lalu menengok Nata yang kini menatap sendu tangan kiri yang sempat digunakan untuk melakukan penyiksaan pada rambutnya.
"Lo ... kenapa berhenti?" Awan bertanya dengan nada tidak sopan seperti biasa, tetapi terdengar seperti berbisik.
Pria paruh baya berkemeja kotak-kotak di sebelah Awan pun sontak menoleh. Tangannya sigap menggenggam tangan anak gadis keduanya. Ia menatap Nata cemas, tetapi langsung mengubah ekspresi tersebut menjadi setenang mungkin. Ia tidak ingin Nata hilang harapan untuk terus berjuang melawan takdir. Ia yakin anaknya pasti sembuh.
"Semakin ke sini kondisi anak bapak semakin mengkhawatirkan. Sudah sangat terlambat. Ataksia Nata sudah tidak bisa dilawan dengan fisioterapi. Akan tetapi, kita akan terus berusaha melakukan yang terbaik untuk kelangsungan hidup anak bapak."
Adam menepis perkataan dokter, bagaimanapun ia percaya akan keajaiban. Ia yakin Nata pasti bisa melalui semua ini. Ia mengenggam kedua tangan Nata dan mendekap erat alat pengeggam tersebut, membawanya ke depan dada. Hatinya bagai ditohok lembing karena melihat cucuran air mata anak gadisnya.
Seraya tersedu-sedu, Nata menatap pilu tangan di dekapan ayahnya. "Tangan kiri Nata gak bisa digerakin lagi," lirih gadis itu sambil tersenyum paksa. Perasaan sedih semakin menambah literan air matanya.
"Nanti pasti gerak lagi. Percaya sama Ayah," ucap Adam menenangkan meski perasaan takut dan khawatir terus merundung.
"Dih, jadi cengeng. Pasti sembuh, percaya sama gue," sambar cowok berperawakan tinggi kurus di samping Nata. Jujur, ia penasaran mengenai penyakit sang kakak dan selama beberapa hari ini ia bersama kakak pertamanya–Lia, membaca artikel tentang ataksia dan cukup membuat mereka terkejut.
Akan tetapi, mereka tidak begitu yakin sebelum mendengar penjelasan dari dokter. Namun, pria berumur empat puluh lima tahun itu yang selalu mereka panggil dengan sebutan Ayah sama sekali tak pernah membicarakan hasil fisioterapi Nata kepada mereka.
***
25 Januari 2020
Berbicara sendiri namanya monolog, berjuang sendiri namanya bego!
Ta, lo gak mungkin lupa sama kalimat lo di atas, kan? Gue gak lupa. Mau tau kenapa?
Karena kalimat itu nampar gue pakai banget. Mungkin lo lagi nyinggung diri sendiri waktu itu. Kalau boleh gue tau, kenapa lo buat status kayak gitu?
KAMU SEDANG MEMBACA
Jurnal Biru ✓
Novela JuvenilNata melempar jurnal birunya kesal. Bagaimana tidak, usahanya untuk melupakan Tirta semakin sulit ia lakukan. Semakin ia ingin menjauh maka semakin Tirta menariknya. Hingga Tuhan pun membantu Nata untuk benar-benar menjauh dari Tirta saat cowok itu...