-DUA PULUH DELAPAN-

133 22 6
                                    

Hanya ada celotehan Ivy dan Nela sebagai pengusir sepi kamar rawat Nata setelah gadis itu bersikeras agar cowok bernama lengkap Tirta Derana segera berlalu, tetapi cowok itu tak menggubris sama sekali. Alhasil, Nata memilih tidur meski pada kenyataannya ia tidak dapat menelusuri alam mimpi.

"Ta, lo pulang aja, gih. Nata gak mau lo ada di sini. Liat tuh matanya merem melek, katanya tidur," kekeh Ivy di penghujung ujaran.

Semburan tawa seketika memenuhi ruang bercat putih itu. Kekesalan semakin memenuhi jiwa Nata, tanpa sadar mata agak sipit miliknya membuka sempurna, menatap tajam Ivy yang memilih duduk di ujung kakinya. Ia menahan kepala agar tidak menoleh ke sebelah kiri, di mana Tirta mendudukkan diri.

"Vy, mulut lo jangan nyindir, dong." Lagi, Nela kembali meluncurkan protes seraya mengulum bibir, meminimalisir keinginan untuk tertawa.

Jujur, setelah Tirta menceritakan segala keinginan dan penolakan Nata pada mereka berdua, ia berbalik arah mendukung cowok itu, tetapi entah kenapa Ivy masih tidak terlalu percaya, menurut cewek dengan kriteria mulut ceplas-ceplos itu, semua terjadi terlalu cepat.

Tirta berdeham cukup keras sembari melirik ketiga orang di masing-masing sisi brankar, memberi kode agar mereka membiarkannya berdua dengan Nata. Refleks kedua manusia itu mengangguk, kecuali Ivy. Gadis itu melongo tidak tahu.

Tanpa aba-aba cewek berpakaian merah muda serta rambut panjang diikat ekor kuda menarik paksa tangan Ivy, tidak memedulikan cewek bermulut minta disekap itu berbicara panjang lebar. Lain hal dengan Awan, ia mengajak Lia makan siang dan membiarkan Nata dijaga oleh Tirta, sedangkan Adam sudah kembali bekerja sampai salat magrib tiba.

Sekarang tinggallah seorang pasien beserta seorang cowok dengan sorot mata sendu dibalut senyum lebar hingga menampakkan gigi ginsul di sebelah kanan dan kiri atas. Tirta memandang wajah bertopeng rona merah dari samping kiri, melihat Nata cuma bisa berkedip berulang kali, berusaha meredam ritme jantung juga mengendalikan kegugupan yang sedari tadi mendera.

Gadis itu bahkan masih sama beberapa tahun lalu, meski hanya melihat kehadiran Tirta, ia tetap merasakan degupan jantung meronta-ronta, suhu badan berubah mendingin. Ia pikir perasaan yang ia rasakan akan memudar seiring berlarinya waktu, merangkaknya tahun hingga berganti ke periode berikutnya.

Laki-laki itu berdeham sekali lagi guna memulai pembicaraan. "Nat, gue di sini dari tadi dan lo cuma bicara sekali, doang, itu pun lo minta gue pergi dari sini. Beneran gak pengen cerita apa gitu ke gue? Sebagai ...." Ia menjeda ucapannya, memikirkan kalimat lanjutan.

"Sebagai seorang sahabat yang mungkin bisa merangkap lebih dari sekadar sahabat, gue sangat bisa dengerin apa pun cerita lo. Gue di sini, di dekat lo dan gak akan berpaling," lanjutnya setelah menimbang-nimbang sekian detik untuk kembali bersuara.

Di luar dugaan, Tirta mengira Nata tidak akan menyahut, tetapi kenyataannya gadis itu memilih berbicara.

"Gue capek. Bisa lo biarin gue sendiri ... di sini," pinta Nata, suara bergetar menahan tangis.

Tanpa aba-aba, Tirta mengubah posisi gadis itu menjadi terduduk, membantu Nata bersandar pada kepala brankar setelah meletakkan bantal terlebih dahulu. Andai kedua tangan si pasien masih bisa bergerak, sudah dapat dipastikan ia akan meronta, mencoba menjauh dari cowok itu. Namun, percuma karena Nata hanya bisa bersuara dan tak ada gunanya kalau ia menolak dengan cara berteriak, tanpa keberatan Tirta akan tetap memenuhi inginnya.

Cowok berbalut kemeja kotak-kotak itu berpindah duduk ke atas tempat tidur, netranya menatap lembut wajah Nata yang tak pernah melihat ke arahnya.

"Gue di depan lo, bukan sebelah kanan apalagi sebelah kiri. Atau lo mau gue pindah tepat ke hati lo?" Tirta mengulum mulut, takut menyemburkan tawa. Bukan karena ucapannya ia ingin tergelak, melainkan semburat di pipi Nata semakin tampak.

"Apa pun sakit lo, percaya sama gue kalau seorang Tirta Derana gak pernah pergi."

Sebelum Nata menyahut, Tirta kembali mengimbuhkan sesuatu, "Mau tau kenapa nama lengkap gue Tirta Derana?"

Tak memberi kesempatan menjawab, lagi-lagi cowok itu kembali menyela, "Arti nama gue adalah air yang tabah. Gue harus tabah nerima semua takdir dan membiarkan semua takdir yang gue dapat mengalir bersama takdir-takdir yang akan datang. Dan salah satu takdir gue adalah lo ... gue siap nanggung semua resiko bersama lo, Nat."

Seketika tubuh Nata menegang hebat, semua perlakuan Tirta berhasil memberi kehangatan tepat pada relung hati. Untaian kata pun tak mampu menjelaskan betapa bahagia gadis itu hari ini. Ia ingin terus merasakan apa yang ia rasa detik ini juga. Namun, yang Nata lakukan hanyalah merekam semua suka dan duka yang melebur jadi satu.

Tak ada lagi tangis peremuk jiwa, tetapi entah mengapa cewek bermanik cokelat terang itu cuma membisu. Sorot mata menunjukkan keinginan kuat untuk bersama. Akan tetapi, sekali lagi mulutnya menampik permintaan hati.

Sambil tersenyum simpul, Nata berujar pelan, "Gue senang lo di sini, gue senang karena lo berjuang keras untuk gue. Tapi, gue jauh lebih senang kalau kita kayak gini aja. Kita jadi sabahat seperti sahabat semestinya."

"Untuk sementara gue terima." Tirta menerima permintaan itu dengan sahutan lantang.

Dalam waktu singkat atmosfer yang awalnya tegang berubah menjadi hangat dan penuh bunga-bunga. Kehangatan itu bahkan menjalar pada dua hati manusia dalam kamar rawat. Ada cinta yang begitu kuat untuk seorang anak manusia yang sedang memupuk tunas perasaannya agar bisa berkembang lebih besar lagi.

Tembok pertahanan luruh tak bersisa.

***
Satu minggu setelah kejadian itu Nata meminta sebuah permohonan mengejutkan kepada keluarganya. Tidak tahu kenapa, tetapi kata hatinya menginginkan pilihan ini.

"Na-ta u-udah gak m-mau ter-api lag-i, Yah." ungkap Nata sangat kesulitan. Hal ini disebabkan karena ataksia mulai menyerang sistem saraf pada mulut gadis itu, bahkan menelan makanan pun ia susah payah. Selama seminggu Nata hanya mengandalkan makanan melalui infus.

Sontak seluruh atensi tertuju pada Nata. Bahkan Ivy dan Nela yang baru saja menampakkan diri di ambang pintu terkejut bukan main. Namun, senyum cerah pada wajah gadis itu seakan memberi energi baru untuk hidup.

Dua sahabat Nata bergabung di antara Adam, Awan, dan juga Lia. Hari ini tak ada Tirta, cowok itu berjanji akan datang setelah salat zuhur.

"Maksud kamu apa, Nak? Kenapa gak mau? Kamu harus terapi," tolak Adam mulai panik.

"N-nata ta-u ka-kala-u t-terapi g-gak b-bisa no-long Nata." Tanpa tangis kalimat tersebut meluncur begitu saja meski sangat sulit untuk tersampaikan.

Adam tersentak, begitu pun dengan dua saudara gadis itu. Mereka bereaksi demikian karena setahu mereka Nata tidak tahu mengenai hal ini. Berbeda dengan Ivy dan Nela, mereka terkejut sebab baru mengetahui kalau terapi tak bisa menolong sahabatnya. Tirta bahkan belum mengetahuinya.

"Kamu harus terapi, Ayah yakin kamu pasti sembuh," ucap pria paruh baya di samping kanan Nata, air mata mulai merembes, tiap tetesnya membasahi kasur brankar.

Tak jauh berbeda, tiga perempuan dan satu cowok lain-Awan juga serupa, menangis tersedu-sedu. Entah apa yang membuat mereka menangis. Takut kehilangan atau karena terapi yang tak berjalan sesuai harapan? Atau mungkin gadis berpakaian pasien tersebut sudah menyerah untuk bertahan.

📘
.
The twenty eighth day ODOC wH
.
Dua chapter lagi, sangat dekat dengan perpisahan cerita ini😂

Jurnal Biru ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang