~Kisah cinta ini sederhana. Sesederhana aku menyakiti diri sendiri karena mencintai kamu~
Nata memandang rumah sahabat kecilnya yang sudah kosong selama setahun. Rumah lumayan besar itu berada tepat di sebelah rumahnya. Hanya ada tembok putih sedang sebagai pembatas kedua tempat tinggal itu. Dari tembok bercelah di depannya, Nata dapat melihat jelas kehadiran beberapa orang di sana.
Mata gadis itu memicing saat melihat punggung seorang cowok yang sangat familier. Nata semakin mendekatkan dirinya pada tembok untuk melihat orang itu. Ia mengaga lebar kala matanya menangkap wajah orang yang sangat dikenali.
Arsyad! kaget Nata.
Hana menepuk pundak anak gadisnya hingga terkesiap. "Lagi ngapain kamu, Nat?" tanya Hana dibarengi senyum tipis. Perempuan paruh baya itu berjalan pelan ke arah bunga-bunga berwarna di pinggir tembok sembari memegang selang air.
"Ada orang di rumah Nada, Bu," ucapnya pelan, berusaha menutupi gurat keterkejutan. Gadis yang mengurai rambut sebahunya itu berjalan mendekati motornya, berniat menuju ke kampus sekarang, meski ia ingin sekali memantau kehadiran cowok itu di sana.
"Oh, mereka yang beli rumah Nada." Nata menghentikan aktivitasnya yang sedang mengikat rambut. Tangannya menggantung di udara akibat pernyataan ibunya. Lidah tercekat, desiran darah terasa semakin kuat.
Beli? batin Nata.
Selain terkejut karena Arsyad membeli rumah itu, juga ada setitik rasa hampa kala mengetahui rumah yang selalu ia kunjungi sepulang sekolah dulu selama dua belas tahun, sekarang sudah berpindah kepemilikan. Ia tidak bisa lagi merenung di halaman rumah itu. Setelah sahabat kecilnya pergi, Nata kerap memanjat pagar pembatas hanya untuk mengenang masa kecilnya yang indah.
Nata terperanjat saat ibunya kembali menepuk bahunya. "Ibu kenapa hobi banget ngagetin Nata," kesal Nata sembari mengikat rambutnya.
"Abisnya masih pagi udah bengong aja. Udah sana berangkat, nanti telat kuliah lagi," suruh Hana. Terdengar kekehan pelan dari balik punggung Nata. Gadis itu tersenyum dan selalu merekahkan bibir saat mendengar kekehan perempuan yang melahirkannya.
"Ya udah, Nata berangkat sekarang." Ia menyalami tangan Hana sebelum menghampiri kendaraannya
Hampir saja Nata menancap gas, tetapi pertanyaan Hana mengurungkan niatnya. "Kemarin malam dari klinik sama kakak, 'kan? Dokternya bilang apa?"
"Katanya cuma kecapekan aja sama kurang olahraga."
Hana berdecak. Nata adalah anak gadis paling malas mengurus kesehatan. Benar-benar tidak memiliki pola hidup sehat. "Ibu selalu bilang sama kamu buat olahraga." Tarikan napas lelah tak luput dari pendengaran Nata. "Begadang, bangunnya juga kesiangan mulu. Jarang banget makan sayur, ikan, gorengan dinomorsatukan," kesal Hana sembari mengabsen keburukan-keburukan sang anak.
Nata tertawa kencang. "Itu udah sehat kalau menurut Nata, Bu. Udah, ah, Nata berangkat." Hana menggeleng tidak mengerti. Semua anaknya susah benar diatur. Mulai dari si sulung sampai si bungsu.
***
Udara jam tujuh pagi menambah semangat Nata menerima perkuliahan hari ini. Meskipun sebenarnya ilmu yang didapatkan dari kelas tidak seberapa dengan diskusi lepas yang membahas apa saja di organisasi dan komunitas yang selalu gadis itu dapatkan saat menyambangi sekretariat.
Indahnya berkumpul bersama para pemikir. Setidaknya, ia bisa membuktikan bahwa ia bisa menjadi rasional dihadapan Ivy dan Nela dengan bergabung dalam organisasi dan komunitas. Memang cinta sepihak membuatnya menjadi orang berbeda, lebih buta dan tuli. Maka dari itu, terapinya adalah berkumpul di sekretariat, bertemu sesama aktivis kampus.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jurnal Biru ✓
Teen FictionNata melempar jurnal birunya kesal. Bagaimana tidak, usahanya untuk melupakan Tirta semakin sulit ia lakukan. Semakin ia ingin menjauh maka semakin Tirta menariknya. Hingga Tuhan pun membantu Nata untuk benar-benar menjauh dari Tirta saat cowok itu...