~Kenapa jadi kebetulan kalau seharusnya sudah jadi takdir~
Nata membuang napas legah saat Tirta dan Disya keluar dari kantin. Kehadiran dua insan itu akan menjadi hal buruk bagi Nata jika Ivy, sahabatnya, melihat mereka di sini. Keberadaannya akan diketahui oleh Tirta dan Nata tidak ingin hal itu terjadi.
"Hua!" Nata mendengkus kala seorang gadis berambut panjang berusaha mengagetkannya.
Ivy tertawa renyah saat melihat wajah datar Nata meski ia tahu gadis itu sedang menahan kekesalan karena ulahnya. Karena merasa tidak dipedulikan, tangan Ivy meraih cireng dari piring Nata tanpa seizin gadis itu hingga membuat Nata menampakkan wajah galaka.
"Sorry, tapi kalau gue gak gini lo gak bakalan anggep gue ada. Eh, lo kok diem mulu? Sariawan?" Ivy memakan cireng jarahannya dengan ekspresi wajah tanpa dosa membuat Nata ingin menarik bulu tangan Ivy yang lumayan panjang.
"Sariawan pala lo!" balas Nata dengan nada judes.
Nata meraih ponsel di saku jaketnya, mengecek apakah ada pesan masuk dari teman seruangan atau tidak. Maklum saja, mata kuliah berikutnya belum memberikan kepastian mengenai jadwal kuliah hari ini akan ditunda atau diundur. Setelah memastikan tidak ada pesan masuk, ia meletakkan ponsel di atas meja, lalu kembali memakan sisa cirengnya.
"Nat, main truth or dare, yuk," ajak Ivy.
"Gak mau. Lo suka aneh-aneh," tolak Nata.
"Ayolah, kali ini gue gak aneh-aneh, suer," ucap Ivy berusaha meyakinkan Nata.
"Lo udah dasarnya aneh jadi gue gak mau."
"Bangke! Gue bukan aneh, ya. Gue ini limited edition." Ivy memutar bola mata, malas.
"Serah lo," putus Nata tidak mau ambil pusing. Jika tidak menuruti kemauan Ivy bisa-bisa kepalanya pecah. Ia tidak akan menang melawan sikap keras kepala sahabatnya ini.
Ivy tersenyum miring sebelum melayangkan pilihan untuk Nata, kali ini ia akan melakukan sesuatu yang bisa menghapuskan rindu Nata pada Tirta. Ivy tahu sahabatnya ini sudah rindu berat dengan cowok itu, hanya saja gengsinya jauh lebih tinggi daripada pengakuannya.
"Oke, truth or dare?" Setelah berucap demikian, Ivy terus berdoa dalam hati agar Nata tidak memilih truth.
"Dare," jawab Nata tanpa mengalihkan tatapan dari ponselnya.
Seperti dugaan, sang target pasti memilih tantangan, sesuai dengan jiwa petualang gadis itu. Ivy bertepuk tangan bahagia hingga membuat Nata terkejut. Perasaan Nata sudah tidak enak, ia meretuki kesalahannya, harusnya ia tidak memilih tantangan jika bermain bersama Ivy. Sekarang ia berada dalam bahaya.
Nata berpikir keras agar bisa terbebas dari permainan ini, tetapi Ivy berhasil membaca gelagatnya yang siap kabur.
"Pengen kabur, kan? Kalau kabur gue bakalan panggil Arsyad ke sini. Tadi dia nyariin lo,"
"Hah! Jangan panggil dia ke sini." Nata memasang wajah melasnya. Sial adalah kata yang menggambarkan keadaannya sekarang.
Ivy kembali tertawa renyah dan Nata ingin sekali mencekik gadis di depannya ini. Ivy menatap Nata dalam diam, sebenarnya ia sendiri tidak ingin Nata berinteraksi dengan Tirta. Namun, sudah cukup siksaan batin yang Nata dapatkan. Pemilik nama lengkap Syanesa Arnata perlu melampiaskan rindunya walaupun melalui pesan singkat.
Ivy merapal maaf berulang kali dalam hati. Sudah cukup sikap puru-pura bahagia yang Nata suguhkan pada semesta. Ia ingin sahabatnya menyadari bahwa tidak apa-apa jika tidak terlihat baik-baik saja .

KAMU SEDANG MEMBACA
Jurnal Biru ✓
Teen FictionNata melempar jurnal birunya kesal. Bagaimana tidak, usahanya untuk melupakan Tirta semakin sulit ia lakukan. Semakin ia ingin menjauh maka semakin Tirta menariknya. Hingga Tuhan pun membantu Nata untuk benar-benar menjauh dari Tirta saat cowok itu...