s i e b z e h n

144 36 12
                                    

Pagi ini dibandingkan nongkrong bersama geng-nya, Dohyon memilih untuk menyendiri di ruang musik. Sebagai salah satu anggota band, Pak Seokhoon memberikan wewenang padanya sehingga bisa keluar masuk ruang musik sesuka hati.

Meski begitu, Dohyon hanya terduduk di sana. Merasa malas bahkan untuk menempatkan jarinya di atas tuts piano. Alhasil, pikiran-pikiran gelap mulai memenuhi benaknya.

Sekelebat bayangan tentang seseorang yang paling dia benci muncul. Ayahnya mengayunkan tangan untuk menampar pipi tembamnya kala Dohyon yang saat itu berumur 8 tahun pulang dengan seragam penuh koyakan dan air mata berlinang.

"Laki-laki macam apa yang cengeng begini, kayak banci aja kamu! Mati aja sana!"

Tanpa sadar, kepalan tangan Dohyon mengerat. Tak sejalan dengan bulir-bulir air mata yang mulai memenuhi mata miliknya. Dadanya sesak, dan dia tidak bisa bernafas. Suara-suara yang sudah lama hilang mulai menggaung memenuhi kepala pemuda berumur enambelas tahun tersebut.

Kamu gak berguna. Kamu gak pantas hidup. Kamu pecundang. Kamu harusnya mati.

"Dodo?" Suara lembut itu seakan menarik Dohyon kembali ke kenyataan. Wonyoung berdiri di sana dengan tatapan bingung.

Dohyon bernapas lega dan tanpa pikir panjang menarik Wonyoung ke dalam pelukannya. "I was so scared."

Wonyoung tak menjawab. Tapi, tangan panjangnya bergerak mengelus punggung pemuda di dekapannya. Memberi rasa nyaman dan aman yang sangat pemuda itu butuhkan kemudian pecahlah tangis Dohyon. Sedetik lalu dia merasa terluka dan tak berguna, tapi detik selanjutnya dia merasa dipedulikan dan dicintai.

"Kak Dohyon?" Suara lembut itu kembali terdengar, tapi pemiliknya jelas orang yang berbeda. Dohyon menoleh dan alih-alih menemukan Wonyoung, dia malah melihat raut wajah khawatir milik Dahyun.

Ah, pasti Dohyon sudah benar-benar tidak waras. Bagaimana mungkin dia salah mengira Dahyun sebagai Wonyoung? Lebih parahnya, dia malah tanpa sengaja memeluk Dahyun yang baru dikenalnya kurang dari duapuluh empat jam.

"Sorry, gue gak maksud." Dengan cepat, dilepaskannya pelukannya, sambil melirik Dahyun sekilas untuk mngecek reaksinya.

Dahyun tersenyum lembut lalu duduk di samping Dohyon. "Kakak pasti lagi banyak pikiran ya? Kalau kakak mau, kakak boleh curhat sama aku!"

"Makasih, tapi gue gak apa-apa kok. Jangan bilang tentang ini sama siapa-siapa ya? Gue sukanya ghibah, bukan dighibahin."

Dahyun terkikik pelan meski tetap mengangguk menyanggupi. "Tapi kak, kakak beneran gak apa-apa? Kakak sampai nangis loh tadi."

"Gue gak apa-apa, Dahyun."

"Kakak pulang sekolah mau ke rumah aku gak? Mama aku lagi bikin kue loh, kata Mama kalo kita lagi sedih, makan sesuatu yang manis bisa bikin perasaan jadi jauuuuh lebih baik!" Sambil mengatakan itu, manik Dahyun berbinar antusias.

"Gue udah kenyang."

"Ih, ayo dong kak! Pantang loh nolak rejeki!" mohon Dahyun sambil memasang raut sedih.

Tadinya, Dohyon hendak dengan tegas menolak. Namun, mengingat beberapa menit lalu dia dengan bodohnya memeluk gadis itu, dirinya malah jadi merasa tidak enak sendiri.

"Ya udah, boleh deh," jawab pemuda itu pada akhirnya.

"Yeay! Nanti pulang sekolah aku ke kelas kakak ya! Sekarang aku mau ke kelas lagi, udah ganti pelajaran soalnya! Pas aku gak ada, Kak Dohyon gak boleh nangis lagi ya! Aku duluan!" Dahyun lekas berdiri dan berjalan keluar dengan riang.

"Padahal, gue kan udah kenyang," keluh Dohyon walau sudut bibirnya tanpa sadar tertarik ke atas, gemas.

***

"Do, anjir darimana lo? Tadi dicariin Bu Cheetah woi, mampus lo! Lo kan tahu Bu Cheetah paling ketat soal absensi, lah ini malah bolos! Ngadi-ngadi bener lo jadi manusia!" Omelan si berisik Ahn Yujin menggema di kelas yang sudah mulai sepi.

Dohyon berdecak malas dan memilih mengabaikan omelan Yujin. Sudah terlalu penat dengan hal lain.

"Anjay, gue dikacangin?" Kali ini, tangan Yujin yang beraksi. Ditepuknya sekuat tenaga lengan pemuda yang barusan mengabaikannya.

"SAKIT WOI?!" teriak Dohyon dengan kedua mata memelototi si pelaku kekerasan alias Ahn Yujin.

"Bodoamat!" Sesudahnya, Yujin langsung melenggang pergi keluar kelas sambil mengibas rambut sebahunya dengan ekspresi congkak yang dibuat-buat.

Dohyon bersumpah dalam hati dan kembali merunduk merapikan barang-barangnya. Memilih pura-pura tak sadar bahwa Wonyoung sedari tadi masih duduk di kursi miliknya, memperhatikan Dohyon dalam diam.

Saat Dohyon hendak melangkah keluar kelas, dia berpapasan dengan seorang pemuda yang terasa familiar. Awalnya, dia hendak bersikap bodoamat, toh bisa saja mereka memang sering bertemu walau tanpa disadari, mereka kan satu sekolah. Akan tetapi, kedua kaki Dohyon otomatis berhenti saat dia mendengar pemuda itu memanggil nama Wonyoung dengan akrab.

Secara perlahan, dia melirik dari balik pundaknya hanya untuk menemukan pemuda itu tengah bertukar canda dengan Wonyoung.

Biasanya, Dohyon akan ikut bahagia melihat senyuman di wajah Wonyoung. Anehnya, hari ini rasa sakit menjalar di dadanya dalam tiap tawa yang tergulir keluar dari bibir Wonyoung.

"Kak Dohyon?" Dengan berat hati, Dohyon membalikan kepalanya kembali menghadap depan dimana Dahyun masih setia berdiri dengan senyum manis terpampang di wajah.

"Lo bisa pulang duluan ga?"

"Eh? Tapi kan tadi kakak udah janji mau ke ruㅡ"

"Gue berubah pikiran. Kayaknya gue mau pulang bareng si Donghyun aja soalnya gue tiba-tiba kangen sama tuh bocah," balas Dohyon asal-asalan dan jelas bohong.

Dahyun cemberut. Hancur sudah kehaluannya tentang pulang bareng Kak Dohyon. Walau tak rela, akhirnya gadis itu mengangguk dan berlalu dari sana.

Menyisakan Dohyon yang seakan membatu di tempatnya berdiri sambil merasakan keringat mulai membanjiri tubuhnya. Suara-suara aneh itu kembali menghantui isi kepalanya. Dia takut, sangat takut, menyadari Wonyoung mungkin akan berada di luar jangkauannya.

***


Ada yang kangen gak ya? (•᷄⌓•᷅)

DoppelGängerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang