a c h t z e h n

151 36 11
                                    

Darimana? Dari titik mana semuanya jadi terasa salah? Saat pria tak dikenal itu tertawa bersama Wonyoung? Ketika Dahyun mendatanginya di kantin? Atau dari awal, semuanya memang sudah salah?

Ini sama sekali tidak seperti Dohyon yang sebenarnya. Seorang Nam Dohyon tidak akan selemah ini, duduk di pinggir jalan yang sepi sambil menikmati rasa sakit di dadanya.

Sudah lewat tengah malam, namun dia enggan beranjak sedikit pun. Mau di rumah, di sekolah atau dimanapun, terserah. Toh, sama saja. Dia akan berakhir sendirian.

Pikirannya melayang ke beberapa saat lalu. Sudah dua kali dia mendengar suara-suara itu hari ini. Bukan pertanda bagus. Itu alarm yang mengingatkannya untuk sesegera mungkin mendatangi rumah sakit yang dibencinya.

Tapi, dia tidak mau. Dia tidak suka berada di sana, walau hanya semenit. Dia tidak suka minum obat, walau hanya itu satu-satunya cara supaya dia bisa tidur di malam hari. Menghindari pikiran-pikiran gelap yang mungkin muncul.

Kalau dipikir-pikir, sudah lama sejak terakhir dia minum obat. Ajaibnya, belakangan ini dia selalu bisa tidur dengan baik. Kenapa? Kenapa dia bisa begitu? Dan kenapa dia tiba-tiba tidak bisa lagi?

"Wonyoung," gumamnya. Entah mengapa, nama gadis itu tiba-tiba meluncur begitu saja dari bibir Dohyon.

Akhir-akhir ini, walau berat mengakuinya, dia cukup bahagia. Dohyon tahu tidak sepatutnya dia merasa bahagia ketika di luar sana ibunya terkurung dan kesepian.

Keberadaan teman-teman barunya seakan menuangkan minyak pada nyala hidupnya yang hampir padam. Menyenangkan, tapi membuat Dohyon menjadi serakah. Dia ingin lebih. Dia mulai bermimpi untuk meraih Wonyoung dalam genggamannya.

***

"Lo dimana?" Itulah pertanyaan pertama yang Minhee tanyakan tepat setelah suara tanda panggilan teleponnya diterima.

"Kenapa?" balas seseorang di ujung telepon itu.

"Ayo jalan do, gue baru dikasih jatah bulanan sama nyokap," jawab Minhee dengan nada seceria mungkin.

Suara desahan malas terdengar dari ujung sana. "Gue gak ikut, males."

Minhee mendecih. "Heh burung dodo, mumpung gue lagi baik nih mau traktir apapun yang lo mau. Ayo nongkrong!"

"Dah dibilang gue gak mau. Lagian kalo urusannya sama lo, gue mah yakin ujung-ujungnya cuma dibeliin mie ayam sebelah rumah lo, bang. Lo kan pelit." Memang ya Dohyon kalo ngomong suka tepat sasaran.

Hampir saja Minhee mengumpat. "Yee kutil anoa, gue serius ini. Cepetan dateng atau lo gue gampar?"

"Ya udah jemput, lagi mager bawa motor," sungut Dohyon.

Minhee mengurut keningnya pusing mendengar permintaan Dohyon. "Manja banget anjir, si Yujin aja kalah!"

"Bacot, cepetan jemput."

"Iya sabar, setan."

***

Ternyata, Minhee benar-benar serius dengan perkataannya. Dapat dilihat dari bagaimana kedua anak adam itu duduk berhadapan di salah satu sudut cafe dengan beraneka macam pesanan Dohyon memenuhi meja.

"Gak kira-kira lo kalo jajan. Ini mah perampokan namanya!" protes Minhee kesal sambil menggebrak meja, membuat beberapa pasang mata mengamati mereka, terkejut.

Namun, yang bersangkutan malah cuek. Terlalu sibuk menguyah makanan di mulutnya, sampai tak menyadari keributan yang ada tepat di depan matanya.

Minhee menghela nafas berusaha tabah, walau dalam hati ada keinginan menyabet kepala Dohyon dengan salah satu piring kosong. "Gue tuh ngajak lo keluar karena mau ngobrol, bukan nontonin lo makan."

Dohyon melirik sejenak sebelum kembali sibuk sendiri. "Ngomong aja elah, ribet."

Minhee menyipitkan mata penuh selidik. "Lo ada apa sih sama Wonyoung? Kalian aneh banget."

"Aneh apanya?" sahut Dohyon yang tiba-tiba berhenti mengunyah dan balas menatap Minhee tepat di mata.

"Gimana ya jelasinnya? Hari ini lo berdua akur banget, besoknya kayak orang asing yang saling gak kenal. Dan itu sering, bukan cuma sekali dua kali." Minhee berhenti sejenak untuk mengecek reaksi Dohyon. "Dan cara lo natap Wonyoung, cara lo bersikap di sekitar dia itu sama sekali bukan cara seseorang memperlakukan temannya."

Dohyon hampir tersedak dan memuntahkan makanannya kalau kalau Minhee tidak cukup sigap menyodorkan minuman. "Lo ngomong apa sih, bang? Ngawur puoool!"

"Gue serius, do. Jawab jujur, lo suka kan sama Wonyoung?" tekan Minhee, merasa agak puas saat pemuda di hadapannya mulai salah tingkah.

"Hm, gue suka kok. Kalau gue gak suka, gak akan gue jadi temennya kan? Sama kayak gue suka sama lo, Donghyun atau Yujin. Iya kan?" Anehnya, raut wajah Dohyon sama sekali tidak sinkron dengan apa yang baru dia tuturkan.

"Gak usah pura-pura bego. Gue tahu lo cukup cerdas untuk ngerti maksud sebenernya dari pertanyaan gue." Kata-kata Minhee kali ini terdengar jauh lebih tegas dan menuntut.

"Jawab jujur? Ok, gue ini siapa sih? Cuma orang biasa yang kehidupannya tuh suram. Keberadaan gue gak terlalu penting bagi dunia orang lain. Dengan gue yang begini, gue bahkan gak punya hak untuk mencintai orang lain, apalagi Wonyoung."

Wajahnya datar, tapi Minhee tahu dibalik topengnya, Dohyon bergetar hebat. Seakan dunia baru saja runtuh menimpanya.

Hening beberapa saat. Lalu, yang lebih tua mengulurkan tangannya untuk menepuk bahu yang lebih muda. "Kalo lo aja gak mencintai diri lo sendiri, gimana bisa orang lain mencintai lo?"

Rasanya bagai ditinju di ulu hati, sakit dan hampa. Jauh di dalam benaknya, dia membenarkan semua yang baru saja dikatakan Minhee. Akan tetapi justru karena itu benar, rasa sakitnya jadi berlipat ganda.

Minhee melipat tangan di depan dada, mengamati Dohyon yang tak bergeming. "Belajar berdamai sama diri lo sendiri, do. Kalo terus-terusan kabur, yang ada lo cuma semakin nyakitin diri sendiri juga beserta orang-orang yang sayang sama lo."

Belum selesai sampai di sana, Minhee tersenyum lembut. Berusaha menularkan perasaan hangat pada salah satu sahabatnya itu.

"Gue gak tahu banyak tentang lo. Gue gak tahu masalah lo apa, karena lo pun sama sekali gak pernah cerita. Tapi, gue tahu lo kuat. Lo hebat."

Hebat? Kuat? Itulah dua kata yang hampir tak pernah terpikirkan oleh Dohyon untuk mendeskripsikan dirinya sendiri.

"Gue gak hebat, bang." Susah payah meski serak, rangkaian kata itu akhirnya terucap dari bibirnya.

Minhee menggeleng cepat lalu terkekeh. "Kalo lo nggak hebat, lo gak akan duduk di depan gue dalam keadaan sehat dan makan sebanyak ini."

Benteng pertahanan Dohyon akhirnya runtuh. Air mata lolos dari mata dan membasahi wajah miliknya. Bahunya bergetar hebat, semua rasa sesak itu seolah berlomba-lomba ingin keluar. Sampai di titik dimana hatinya terasa kosong, tapi dia merasa lega.

Minhee menunggu tangisan Dohyon berkurang sebelum kembali berucap. "It's truly okay to be not okay. One thing you should know, I got your back, dude."

***

Maafin aku yang bikin Dodo jadi sadboi terus 😭😭😭

DoppelGängerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang