v i e r z e h n

284 41 11
                                    

Kalau dari sudut pandang Wonyoung, Yujin terlihat bahagia-bahagia saja selama mereka perang dingin, maka itu dapat dipastikan seratuspersen salah. Nyatanya, tiap Wonyoung sudah menghilang dari pandangannya, dia akan kembali murung. Jauh berbeda dengan Ahn Yujin yang biasanya periang.

"Jin, maafan sana sama Wonyoung. Kasian tahu dia kemana-mana sendirian gitu." Jiheon menatap Yujin prihatin, temannya itu jadi seperti kehilangan motivasi hidup setelah bertengkar dengan Wonyoungㅡatau tepatnya setelah dia marah besar pada Wonyoung.

"Gak mau dan gak peduli."

"Gak peduli pala bapak kau, tiap dia pergi lo langsung lemes gitu. Dia ijin ke kamar mandi agak lama aja, lo langsung rusuh nyuruh orang buat nyusulin." Kali ini, Yuna yang bersuara.

Gimana gak gemas? Sudah entah keberapa kalinya Yuna disuruh mengecek keadaan Wonyoung. Takut-takut kejadian pembullyan Wonyoung waktu itu terjadi lagi.

"Ya, abisnya dia tuh ngeselin."

Jiheon yang sebenarnya tipe pengamat dan berwatak lemah lembut itu menepuk pundak Yujin lembut.

"Jujur sama gue, lo gak mau ngomong sama Wonyoung karena lo marah sama dia atau," Jiheon menggantungkan kalimatnya, mengecek reaksi Yujin. "Atau lo marah sama diri lo sendiri karena gak bisa melindungi Wonyoung?"

Padahal tepukan Jiheon sangat lembut, tapi Yujin merasa tertohok seakan Jiheon habis menendang ulu hatinya.

Ekspresi ngotot Yujin memudar. "Heon, terus gue harus gimana? Gue jadi merasa gak pantes jadi sahabat dia. Mana ada sih sahabat yang gak tahu kalau sahabatnya lagi dalam bahaya? Gue emang sampah."

"Berisik. Lo ngomong apasih ding, udah sinting ya?"

Wonyoung berdiri di depan kelas mereka dengan wajah bersimbah air mata. Iya, Wonyoung sudah dengar semuanya.

Yujin terkejut, tapi tidak mengelak ataupun membuang muka seperti yang akhir-akhir ini dia lakukan.

Wonyoung melangkah perlahan. Yuna dan Jiheon pun menyingkir, memberi kedua sahabat baik itu ruang untuk membereskan masalah mereka sendiri.

"Gue minta maaf." Wonyoung tertunduk, bahunya tak henti-hentinya bergetar menahan tangis. "Harusnya gue cerita sama lo, tentang kejadian itu. Harusnya gue gak sebego itu cuma karena seorang cowok. Maafin gue, ding."

Ekspresi Yujin tetap datar. "Jadi, kejadian itu bener? Haruto ngundang lo ke rumahnya, dan ngasih lo ke preman-preman itu sebagai hadiah karena dia kalah taruhan?"

Wonyoung mengangguk. Sudah siap kalau akan dimarahi lagi.

Tapi di luar dugaan, tangis Yujin malah pecah. Sambil terisak, Yujin memeluk Wonyoung. "Nyo, I'm sorry you had to experience that nightmare. I'm sorry I couldn't protect you."

Wonyoung membalas pelukan Yujin tak kalah erat. Sungguh, dia sangat merindukan Yujin. Tidak diacuhkan oleh sahabat baiknya sendiri jauh lebih menakutkan dari kejadian yang pernah menimpanya itu.

"Maaf juga ya karena gue gak jujur sama lo. Gueㅡgue cuma gak mau lo berantem sama Haruto."

Yujin melepas pelukan mereka dan menatap Wonyoung tajam. "Gue gak mau tau ya, nyo! Lo gak boleh deket-deket sama si Hartono itu! Atau gue marah selamanya sama lo!"

"Iyaaa, gue usahain."

"Dih, kok diusahain???"

"Iyaaa, kapten! Siap laksanakan!"

Yujin tersenyum puas lalu kembali memeluk Wonyoung. "Huhuhu kangen banget sama dedek Onyo, gue kesepian tau gak ada lo!"

"Idih, kesepian apanya. Orang lo kemana-mana sama Minhee. Enak ya yang abis nonton berdua sambil rangkul-rangkulan?"

DoppelGängerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang