Membangun hubungan percintaan mungkin mudah, namun tidak dengan persahabatan. Itu sulit.
- diary Nisa
- - - - - - - - - -
"Memangnya kamu mau saya perjuangkan?"
Aku tertegun, tak banyak gerak lagi. Apa maksudnya?
"Bapak bercanda pasti!" balasku sembari memalingkan wajah.
"Kapan saya pernah bercanda ke kamu, Nis? Jika pernah, coba beri tahu saya, kapan itu!" Benar, dia tidak pernah bercanda. Semua perilakunya selalu jujur dan tak pernah main-main.
"Pak,-"
"Lupakan!
. . .
"Zee, kita bicarain baik-baik , ya?" ucapku, sembari mengajak Zeeya untuk duduk di kursi.
"Mau jelasin yang mana? Yang Lo setuju ajakan dia makan siang, atau soal Lo yang mau diperjuangin sama dia?" tanyanya. Aku masih diam. Masih berpikir apakah selama aku di resto dengan Pak Davi, dia mengikutiku?
"Soal makan siang, aku sudah mencoba untuk menolak, Zee. Tapi dia maksa," jekasku.
"Gue enggak butuh penjelasan itu. Gue ngerti, soal perut enggak boleh ditunda. Gini ya, Nis. Oke, gue ngerti. Mungkin emang Pak Davi enggak tau perasaan gue kayak apa. Bisa jadi dia cuma anggep gue seperti mahasiswi lainnya. Yang perasaannya sekedar kagum aja. Gue ngerti! Yang gue enggak ngerti, kenapa saingan gue harus Lo?!" Zeeya mengutarakan semua itu dengan nada yang semakin tinggi.
"Zee, aku juga enggak tau kalau akhirnya kayak gini. Aku juga enggak nerima dia, enggak semudah itu. Kamu tau, kan? Aku janji akan bantu kamu buat confess ke dia, kalau perlu kamu bisa ambil kesempatan jadi asdos dia." Aku mecoba menjelaskan lagi. Emosi Zeeya kini sudah tak dapat diatur. ku melihatnya seperti bukan Zeeya yang kemarin-kemarin.
"Enggak perlu! Enggak ada gunanya."
Dia beranjak dari duduknya. Dia memandangku sebentar, "Gue hari ini pulang ke Bogor. Lo di sini aja enggak pa-pa. Take care,"
"Lhoh, Zee." Dia meninggalkanku begitu saja. Memasukkan beberapa baju seperlunya. Lalu membawa tasnya, keluar melewati ku tanpa sepatah kata.
"Zee, kalau kamu marah, biar aku yang pergi. Ini tempat kamu," ucapku sembari mencegah tangannya agar tidak pergi lagi.
Dia masih diam.
"Biar aku yang pergi," ucapku sekali lagi. Lalu membereskan perlengkapan ku yang tertinggal di sana. Posisiku sekarang benar-benar seperti orang pindahan semua barang kubawa.
Zeeya masih diam, mengamatiku dari ambang pintu.
Setelah semuanya selesai, aku menghampiri Zeeya.
"Makasih, ya, Zee. Udah kasih tempat buat aku." Aku melenggang keluar. Entah ke mana sekarang tujuanku. Aku ingin pulang ke Jakarta, namun bagaimana nanti dengan tesisku?
. . .
Aku melirik jam tanganku, sudah pukul 8 malam. Awan juga mulai gelap karena mendung, bahkan gerimis mulai turun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Terjebak Cinta Pria Populer
RomanceRevisi alur #1 in Sunrise (140421) Sebuah perasaan selalu mencari rumah untuk pulang. Memeluk kehangatan serta kenyamanan pada seseorang. Begitupun dengan Nisa, mahasiswi strata 2 yang tengah mencari arah pulang dari perasaannya yang menggebu pada...