"Benarkah ini mimpi? Jika dunia hanyalah kenyataan semu."
- - - - - - - - - - - - - - - -
"Karena perasaan kita berbalas. Aku juga menyukaimu, Nisa."
Ucapan itu terus mengiang selama berjam-jam. Apa ini mimpi? Jika iya, jangan bangunkan aku dulu, Tuhan. Izinkan aku merasakan kebahagiaan sementara ini.
"Bangun, Nisa!" Suara itu mendengung hebat di kepalaku. Puluhan kali suara itu menggelayuti alam bawah sadarku. Aku mencoba untuk tidak bangun, aku masih ingin bersenang-senang dengan mimpiku ini.
Perlahan aku merasakan guncangan di tubuhku. Nafasku tercekat, aku merasakan sesak napas setelah sekian lama aku tidak mengalaminya.
Mataku terpaksa terbuka, kudapati wajah pria itu tepat di hadapanku. Wajah yang penuh peluh keringat, dengan raut khawatirnya. Tanganku bergerak tanpa sengaja, mengelap pelipisnya yang sudah bercucuran keringat. Dia tidak menolak, justru malah tersenyum tulus di hadapanku.
Saat tersadar, aku mengucap banyak istighfar. Aku sudah menyentuhnya.
Tapi tunggu, ini bukan kamar jika aku terbangun dari mimpi. Bukan juga rumah sakit.
Ini seperti.. Kafe itu. Kafe dalam mimpiku. Aku mengamati sekeliling, banyak pengunjung yang menatap kami.
Aku sadar, aku pingsan. Aku segera bangun dan menyambar sling bag ku. Aku keluar dari kafe ini dengan perasaan tak karuan.
Baru saja aku akan menarik knop mobil, cekalan tangan menghentikanku.
"Kenapa kamu?" tanyanya. Raut mukanya tak terdefinisi. Antara khawatir, takut, dan juga mencoba untuk bersikap tenang.
Aku masih diam, bingung menjawab bagaimana. Aku benar-benar dalam mode gelisah.
"Tadi kamu pingsan, kamu sakit?" tanyanya lagi.
"A-ku pingsan?" tanyaku balik.
"Bukan mimpi?" sambungku.Dia malah tertawa, manis sekali.
"Mimpi apa? Mimpi kamu nembak aku?""Jadi tidak mimpi?" Dia menggeleng. Melihat jawabannya, napas kubuang dengan lega.
"Kak Addin benar-benar suka sama aku?" Dia mengangguk.
Aku tersenyum lepas begitu saja.
"Kenapa tersenyum?"
"Aku lega, perasaanku terbalas. Namun sekarang aku sadar, Kak. Ini zina," balasku. Aku melepas cekalan tangannya. Setelah pingsan tadi, sepertinya aku mendapat banyak pelajaran agama. Ini salah satunya, Zina.
Dia tersenyum mendengar ucapanku.
"Tenang saja, Tiara. Aku tidak akan memintamu untuk menjadi pacarku. Tapi aku akan memintamu untuk menjadi istriku. Kau bersedia?" ucapnya.Mataku membulat, pipiku mungkin saja sudah memerah. Oh Tuhan, ini sungguhan? Baru beberapa menit lalu aku mengutarakannya, dan sekarang dia melamar?
"Kak, jangan membuat keputusan terlalu cepat. Aku tidak mau ada penyesalan setelah ini." Dia menggeleng.
"Aku tau kamu menyukaiku, kamu pun tau aku membalas perasaanmu. Kita sama-sama menyukai. Tidak akan jadi dosa jika kita menikah. Kita pacaran setelah menikah, itu lebih nikmat." Balasan yang sungguh membuat hatiku semakin menggebu. Aku sudah menahan senyumanku saat dia mengatakan hal itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Terjebak Cinta Pria Populer
RomanceRevisi alur #1 in Sunrise (140421) Sebuah perasaan selalu mencari rumah untuk pulang. Memeluk kehangatan serta kenyamanan pada seseorang. Begitupun dengan Nisa, mahasiswi strata 2 yang tengah mencari arah pulang dari perasaannya yang menggebu pada...