La Korn
Karya : Yuzuru
aglersibelSetelah sekian tahun hidup dalam kesedihan, akhirnya aku memberanikan diri kembali lagi ke sini, di kuil agung tempat patung Buddha berbaring, Wat Phra Chetuphon Vimolmangklararm Rajwaramahaviharn.¹
Cuaca hari ini mendung, angin sore berembus kencang seolah menemani, ikut merasakan kesedihanku. Suasana kuil begitu tenang, yang terdengar hanyalah suara sayup-sayup orang berdoa dan kicau burung yang menentramkan jiwa. Dalam hati aku ikut berpasrah dengan penuh kerendahan hati, berharap Sang Buddha mendengar segala keluh kesah hamba-Nya yang hina ini.
Aku menghampiri penjual kelapa di dekat gerbang, memesan air kelapa muda yang dihargai 30 Baht. Sambil memandang jauh ke dalam kuil, tanpa sadar kembali terbayang memori kelam yang selama ini kupendam mati-matian. Rasa sakit penuh keputusasaan, rasa malu, dan rasa rindu yang mendalam berasa menusuk kalbu, membakar tameng diri hingga tak tersisa menjadi abu.
Tangisku kini pecah. Meluruh sampai tersedu-sedu. Si penjual tertegun menatapku yang riuh oleh air mata, ragu untuk memberikan pesananku. Aku mulai mengatur napasku, menghapus air mata yang merusak riasan, lalu mengambil kelapa muda dari tangan si penjual dengan senyum yang dipaksakan.
"Kita tak ditakdirkan bersama," kata lelaki itu yang sampai sekarang masih kuingat. Masih terbayang raut wajahnya yang penuh kesedihan, mata sayunya menatapku seakan tak rela melepaskan. "Meski begitu, aku tidak menyesali pertemuan kita. Aku telah gagal, salahku sendiri yang terjatuh pada pesonamu. Besok aku akan memulai masa pendisiplinan di Sri Lanka. Aku harap kau menemukan bahagiamu. Lupakan aku, Pearl."
Sungguh, meski ingin, aku tak bisa. Melupakannya tak semudah itu.
Kami bertemu tujuh tahun silam. Saat itu, dia adalah pendatang baru di kuil. Semangat dan rasa antusiasnya mempelajari ajaran Buddha Gautama menarik hati semua orang, tak terkecuali aku, seorang gadis muda yang rajin ke kuil. Aku melihatnya belajar, mempraktikkan kehidupan suci dengan mengandalkan Sutta-Vinaya demi mendapat keberhasilan sebagai seorang Bikkhu.
Semakin sering berjumpa, semakin besar letup gejolak rasa di dada. Aku membuatnya lalai. Diam-diam kami melempar senyum saat tak ada yang memperhatikan. Sampai suatu hari, kami berdua berjanji untuk bertemu. Awalnya hanya mengobrol ngalor-ngidul, sesekali diselipi candaan-candaan mesra. Senyum di wajahnya mulai serius, memancarkan aura tegas yang begitu candu.
Tanpa sadar, Sanghadisesa² nomor dua pun telah kami langgar.
Tak ada yang tahu, namun perasaan sesal dan takut berkumpul menjadi satu.
Pada akhirnya, demi menebus dosa yang kami lakukan, Phi³ pergi mengasingkan diri. Kami berhenti bertemu, tatap mata pun seolah jadi tabu. Malam itu, di bawah purnama yang bulat sempurna, kata "La korn" pun terucap.⁴ Memisahkan dua hati yang tak akan pernah bisa bersatu.
-Selesai-
Jakarta, 24 Juni 2020
.
.
Catatan :
¹ Sebuah kuil Buddha terbesar dan tertua yang ada di Bangkok, Thailand. Lebih terkenal dengan nama Wat Pho.
² Peraturan kedisiplinan seorang bikkhu. Ada 13 aturan terhadap para bhikkhu yang apabila dilanggar akan mengakibatkannya harus menjalani suatu masa percobaan atau masa pendisiplinan selama beberapa waktu. Sanghadisesa nomor 2: Tidak bersentuhan secara fisik dengan wanita dengan birahi atau nafsu.
³ Sebutan untuk 'kakak' dalam bahasa Thailand.
⁴ 'Selamat tinggal pada keadaan serius/tidak akan bertemu lagi' dalam bahasa Thailand.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Lifes✔
Short StoryBerisi kumpulan cerpen bertemakan 'Kehidupan' karya anggota keluarga grup kepenulisan Great Writers Soon. #KaryaAsli #NoPlagiat #GWS_Family #Batch1 #Update_Juli2020