Eksistensi

14 9 0
                                    

Eksistensi
Karya : Firda Amelya
@Umarca


"Mel, tunggu! Cepet amat tuh bocah lari! Kalo jatuh, baru tau rasa!" sungutku kesal.

Aku terus berteriak. Namun, teriakkanku itu tqk dihiraukan oleh gadis yang berwajah sama denganku itu. Yang tak lain adalah saudara kembarku.

"Aduh!" ringis Amelya tersungkur hingga lutut dan sikutnya berdarah.

Dengan cepat, aku langsung menghampirinya. Hatiku berkecamuk tak karuan, khawatir dengan keadaannya. Amelya pun menangis sesunggukan.

"Lo, nggak apa-apa, M?" tanyaku khawatir.

Amelya mengangguk samar. Aku berdecak kesal.

"Ck, salah lo, sih! Dibilangin kok ngeyel. Kalau gini, siapa juga yang susah!" bentakku membuat Melya kaget. Ia menunduk takut. Aku pun mengembuskan napas gusar, sedikit merasa merasa bersalah karena membentaknya.

"Sakit, ya?" tanyaku lembut.

Amelya mendongak dan tersenyum di sela-sela tangisnya. "Ng-nggak, cuma di-dikit."

"Sama aja, bego!" umpatku. Amelya hanya terkekeh pelan.

Mungkin bisa dibilang ucapanku kasar. Tetapi, percayalah. Aku sangat khawatir pada adikku sekaligus saudara kembarku ini.

Dan inilah perbedaanku dengan Amelya. Dia yang terlewat lembut, tetapi tidak manja. Dan sifatku berkebalikan dengannya. Emosiku cenderung mudah tersulut dan aku tempramental.

"Udah, jangan nangis. Ayo pulang!" ajakku sambil meniup lukanya.

"Na-nanti aja. Kalau Bunda marah gimana?"

"Biar gue yang urus. Bunda akan lebih marah kalau kita nggak pulang."

Amelya mengangguk, tangisannya kini reda. Aku berjongkok, menyuruhnya untuk naik ke punggungku.

"Ayo naik!" titahku padanya.

Amelya menggeleng pelan, "Badanku berat."

Aku memutar bola malas, "Siapa bilang kalolo nggak berat?"

"Emang lo bisa jalan? Enggak, 'kan!" sinisku. Amelya menggeleng lagi.

"Buruan naik. Gua nggak apa-apa kalo gendong lo, Mel. Enggak akan buat gue mati mendadak, kok."

Mendengar ucapanku, dia menggangguk. Pada detik berikutnya, dia naik kepunggungku. Aku bangkit sembari menahan tubuh Amelya dengan susah payah. Kami beranjak pulang ke rumah.

Wajah Amelya masih pucat pasi. Bukan karena rasa sakitnya, melainkan itu semua karena bunda. Bunda itu sangat over protektif kepada Amelya. Berbeda denganku, menatapku lebih lama saja tampaknya sangat membuatnya malas.

Sepuluh menit telah berlalu. Tak terasa, kami telah sampai di rumah. Aku menurunkan adikku dari punggungku.

Dia masih tetap bersembunyi di balik punggungku. Sebenarnya, aku juga takut. Namun, bagaimana pun aku harus melindungi Amelya dari omelan bunda. Walau pada akhirnya, aku yang selalu disalahkan atas apa yang terjadi.

Bunda datang terkejut melihat kami. Ah, bukan kami. Tetapi Amelya saja. Mulut bunda mulai menginterogasi, namun aku menyela.

"Amelya, tadi jatuh gara-gara aku kejar. Itu bukan salahnya, aku yang mengajaknya bermain." bohongku.

Bunda kini menatapku dengan kilatan marah. Sedangkan Amelya sudah menangis takut.

"Itu bukan salahnya Firda, Bun. Itu salah--"

Our Lifes✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang