Aku dan Hidupku

19 10 0
                                    

Aku dan Hidupku
Karya : Muthia Zahida
zahida2026

Namaku Galen. Usiaku baru saja menginjak tiga belas tahun. Kebanyakan teman-teman seusiaku sedang bermain, atau bisa menjelajah  media sosial. Tetapi, aku malah terjebak di tengah kedai mie dengan kaus lusuh dan sepatu usang, membersihkan meja yang kotor.

Ayahku sakit keras dan ibuku sudah meninggal saat aku berumur lima tahun.

“Galen, tolong bersihkan meja nomor 15!” seru sang pemilik kedai.

“Iya, Pak, sebentar,” jawabku.

Beginilah kehidupanku. Tetapi, aku tetap bersyukur. Setidaknya, aku masih bisa bekerja dan memiliki tempat tinggal yang masih bisa dikatakan layak.

Setelah selesai bekerja, aku diberikan upah sebesar seratus ribu dan dua bungkus mie sisa penjualan di kedai. Hatiku sangat senang menerimanya.

Rumahku tidak jauh dari sini. Aku akan melewati gedung besar dan tinggi, danau yang luas, dan hamparan rumput hijau dengan bunga yang bermekaran.

Sessmpainya di rumah, aku segera membersihkan diri dan merapikan rumahku.

“Galen sudah pulang? Bagaimana hari ini?” sapa ayah yang baru saja keluar dari kamar mandi.

“Masih sama dengan kemarin, Yah. Enggak ada yang menarik,” jawabku sambil melanjutkan mengepel lantai.

Mendengar jawabanku, ayah pun tersenyum tipis. Ia duduk di kursi, lalu menarik tubuhku agar duduk--menghentikan aktivitasku yang sebelumnya tengah mengepel lantai.

“Kalau Ayah nggak ada nanti, kamu harus berjuang sendiri di dunia yang keras ini. Kamu harus bekerja. Kamu akan sendiri di sini. Ayah takut kamu kesepian. Ayah takut kamu sakit dan nggaj ada yang urus. Kalau ada yang jahat sama kamu, ayah nggam bisa tolongin kamu,” ucap ayah tiba-tiba.

Aku menarik napas pelan, berusaha menahan tangis. Lalu, aku menatap wajah ayah dalam. Kutatao netra cokelatnya yang terlihat jernih. “Enggak, Yah. Ayah pasti sembuh. Aku akan kerja lebih keras lagi dan aku akan bawa ayah ke rumah sakit. Ayah jangan khawatir sama aku, khawatirin diri Ayah dulu. Aku akan berusaha untuk kesembuhan Ayah."

“Iya. Ayah tau kamu anak yang hebat, anak yang tangguh. Jadi, kamu jangan pernah menyerah dengan dunia. Hidup itu keras, apalagi dengan keadaan kita yang seperti ini. Kamu harus bisa bertahan," ucap Ayah.

Setelah mengucapkan itu, ayah masuk ke kamarnya, meninggalkan diriku dengan banyak pertanyaan.
Keesokan harinya, aku terbangun. Ternyata, aku tertidur di kursi.

Pandanganku langsung tertuju pada dua bungkus mie yang tergrletak asal di atas meja. Aku pun beringsut, mengecek mie itu yang ternyata sudah basi.

Setelah itu, aku bangkit. Lanhkahku tertuju pada kamar ayah. Perlahan, kumasuk ke kamar untuk membangunkannya.

“Ayah, ini sudah pagi. Aku mau ke kedai. Ayah mau sarapan apa?”

Hening. Tak ada jawaban atau tanggapan dari ayah. Kamar ini terasa dingin. Ayah masih terbaring di bawah selimut tebalnya.

Aku membuka jendela yang sudah rapuh itu. Membiarkan sinar mentari mulai masuk ke sela-sela jendela. Angin sejuk pun perlahan berembus, masuk ke indra penciumanku.

“Ayah ...,” panggilku lirih.

Ayah masih tak merespons panggilanku. Tangaku tergerak untuk  mengguncangkan tubuhnya perlahan. Naas, masih tak ada pergerakan yang ayah berikan.

Wajahnya pucat dan tubuhnya terasa dingin. “Ayaaah!”

Aku mulai panik dan mengecek napasnya. Hasilnya nihil. Aku menangis di sisi tubuh ayah yang sudah tak bernyawa.

“Ayah, jangan pergi. Jangan tinggalin Galen, Yaaah ...."

Sore itu, para tetangga memenuhi rumahku. Terdapat jasad ayahku di tengah-tengah mereka. Rencananya, malam ini ayah akan di makamkan.

Tiba saatnya ayah dimakamkan. Ayah akan sendiri di sana, kedinginan, kehujanan, kepanasan, dan kesepian. Aku menangis sesenggukkan.

Setelah acara pemakaman selesai, aku pulang ke rumah dan bersiap untuk bekerja esok hari. Rumahku terasa sepi. Tak ada lagi senyum hangat ayah yang biasa menyambutku.

“Ayah, maafin Galen. Maafin Galen karena bisa bawa ayah ke rumah sakit,” gumamku sambil menangis di atas kasur.

Mulai besok, aku akan bekerja sendiri, mengurus rumah sendiri, dan melakukan semuanya sendiri. Tak ada lagi yang menemaniku. Hidupku masih harus berlanjut. Aku akan berjuang agar ayah bangga di sana.

--Selesai--

25 Juni 2020

Our Lifes✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang