Jejak Luka

30 15 0
                                    

Jejak Luka
Karya : Yuliani
ylikni

Aku ingin hidup seperti rumah yang ada atapnya. Seperti tanah yang ada tumbuhannya. Atau seperti Matahari yang selalu menyinari seisinya.

Tapi aku sadar, aku tak bisa melakukan semua itu. Ibaratkan tempat tinggal, rumahku sudah tak ada atapnya. Tanahku, bahkan sudah kering-kerontongan. Jangankan untuk menyinari, bahagia pun hanya tinggal menghitung hari.

Dalam hati aku terus bertanya untuk kesekian kali. "Sampai kapan aku harus hidup begini? Hidup dikelilingi dengan bayangan ilusi yang tak memiliki tepi."

Kadang aku berpikir, lebih baik mati daripada harus menjalani hidup seperti ini. Tak ada kebahagian yang melingkupi.

Delapan tahun sudah aku berusaha berjuang sendiri. Tanpa Bunda yang dulu selalu menyemangati. Ya, Bunda pergi meninggalkanku sendiri di dunia ini  saat umurku baru menginjak tiga belas tahun akibat serangan jantung yang aku yakini semuanya terjadi oleh Ayah yang membawa selingkuhannya ke rumah.

Teringat sekali di ingatan masa kecilku, Ayah berjalan sambil memegang tangan wanita yang terlihat sedang mengandung itu. Tanpa menegur atau menyapa, Ayah berjalan di hadapanku. Berjalan lurus ke arah Bunda yang sedang membawa sarapan pagi untukku.

"Aku akan menikah minggu depan!" Ayah berbicara kepada Bunda tanpa beban.

Aku melihat air mata mengalir dari pipi pucat Bunda saat itu. Diringi dengan piring yang jatuh, berserakan di lantai putih.

"Ap-apa maksudnya ini, Mas?" tanya Bunda gagap.

"Aku sudah tidak memiliki rasa cinta lagi untuk kamu. Dan juga kamu lihat perut ini." Tunjuknya pada perut wanita di sebelahnya. Lalu, ia kembali melanjutkan perkataannya, "Ini menjadi bukti, bahwa cintaku sudah menjadi milik dia!"

Saat itu, kaki bunda luluh di lantai. Duduk di antara pecahan piring yang melukai tubuh. Dan di saat yang sama, emosiku pun memuncak.  Kudorong tubuh ayah kasar. "Ayah, jahat! Aku benci Ayah!"

Setelah itu, aku langsung berlari memeluk tubuh bunda, yang sudah menangis. Aku pun ikut menangis sesengukan.

"Ternyata begini balasan kamu, Mas. Setelah kamu memiliki semuanya, kamu memilih pergi meninggalkan aku dan anak kita. Kamu lupa? bahwa akulah yang menemani setiap langkah perjuanganmu selama ini!" Bunda menatap mata Ayah dengan sangat tajam.

"Menikalah dengan wanita itu. Tapi maaf, tak ada restu dariku untuk rumah tangga barumu. Seperti kamu yang tanpa ampun merusak semua kepercayaanku. Seperti itu pula akhir dari rumah tangga kita. Kutunggu surat cerai darimu, Mas!" putus Bunda yang langsung menarik tanganku untuk pergi meninggalkan ayah dan wanita itu, berdua.

Bunda mengajakku kedalam kamar lalu menguncinya. Aku melihat jelas kerapuhan bunda saat itu. Ia menangis bahkan meraung. Hingga napas bunda tiba-tiba berubah tidak stabil.

Melihat keadaan bunda seperti itu, aku langsung panik. "Bun-bunda kenapa?" tanyaku sambil menaruh kepada Bunda ke pangkuanku. Kupegang tanggan bunda erat.

"Sayang, ma-maaf kan Bunda." Bunda menarik napasnya  yang sudah tidak teratur.

"Hapus ingatanmu tentang hari ini, Sayang. Lalu jalanilah hidupmu dengan baik, walau tanpa bunda disampingmu." Bunda menatap mataku sendu, hingga netranya menutup rapat secara perlahan.

"Bundaaaa!" teriakku keras disertai dengan air mata yang mengalir deras.

***

Maafkan aku, Bunda. Sampai sekarang pun aku belum mampu menghapus semua memori kelam itu. Bahkan, aku belum bisa menerima kepergianmu yang sangat mempegaruhi mentalku.

Untukmu, Bunda. Maafkan anakmu yang belum mampu menjalani hari bahagia yang bunda mau.


--Selesai--

Palembang, 24 Juni 2020

Our Lifes✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang