Mungkin, aku terlalu naif. Selama ini merasa terkurung dalam menara tanpa tangga turun. Merasa di atas, walau sebenarnya aku terkunci dari dunia luar. Merasa aman dan nyaman, walau berbagai perasaan ingin tahu selalu menyeruak. Sebagai anak satu-satunya, orang tuaku memastikan aku hidup cukup—bahkan berlebih. Berbagai wejangan dan batasan mereka guyurkan padaku. Masa remajaku dihabiskan di sekolah, tempat bimbingan dan rumah. Tak jauh berbeda, saat kuliah tiba. Mimpiku ingin keluar bebas, terhambat sayap yang tak kunjung mekar. Apa yang aku mau, sebutkan saja, mereka usahakan datang, asal aku tidak pergi.Dunia kejam dan menyiksa, kata mereka.
Sampai aku bertemu dengan dia. Empat tahun yang lalu, di sebuah menara kantor yang menembus cakrawala. Perlahan dia membawaku turun. Dia membuatku merasakan arti kebebasan yang selama ini aku pertanyakan. Dia terlihat jujur dan dia terasa sangat tulus. Keengganan mereka untuk mengenal Doni pertama kali membuatku berontak, hingga akhirnya mereka mengalah.
Seiring waktu berjalan, mereka menerimanya, menyukainya dan merestuinya. Mereka membebaskan aku berdua dengannya, bahkan menitipkan aku kepadanya saat mereka jauh dariku. Mereka turut bahagia melihat Doni yang ada disampingku, hingga beberapa kali pertanyaan itu disampaikan. Jadi kapan menikah? Dan rencana demi rencana pun mulai terbentuk.
Doni selalu disampingku, sejak empat tahun lalu. Menemaniku untuk setiap air mataku. Bergembira bersamaku untuk setiap kemenanganku. Ia juga ikut bersamaku, mencari jati diriku, menyelamatkan orang terdekatku, bahkan jika mungkin: menyelamatkan dunia. Hingga aku percaya aku ingin melabuhkan sisa hidupku padanya.
Aku menyerahkan jabatanku kepadanya. Karena awalnya aku percaya dia bisa mengembannya. Namun, pada akhirnya semua mulai terbaca. Dia memanipulasi dan mengelabuiku, untuk mendapatkan semua manfaat yang dia terima. Ambisi menjadi pemimpin membuatnya berusaha mengenyahkanku. Obsesinya membuatku menjauhi orang-orang disekitarku dan menjadikannua pusat rotasiku. Mungkin, kata orang-orang, kamu memeluk musuhmu lebih erat agat pisau tertancap lebih dalam. Tapi bagiku, aku hanyalah anak tangga baginya, diinjak dan dilompati agar mencapai tempat lebih tinggi.
Kini, saat semuanya terbaca. Hanya ada rasa sakit yang menyelimuti. Namun, kenapa rasanya kehilangan tetap bukan menjadi opsi?
—bersambung..
*menggabungkan dongeng Tangled dan Frozen.
KAMU SEDANG MEMBACA
UnKnown - DWC 2020
Random[COMPLETED]Sebuah ketidaktahuan tentang ketidakpastian. Participant of npc2301's DWC2020 Cover ciamik by @alizarinlake