Permainan

255 31 0
                                    

Mengenggam erat kotak bekal, aku bersiap menyebrang. Senyum mengembang ketika melihat gedung tinggi nan megah dihadapanku. Gedung tempat dia bekerja. Gedung yang dulu juga tempatku bekerja.

"Mbak Andin?" Separuh bertanya, seorang satpam menyapaku.

"Hai, Pak. Sudah lama tidak bertemu," sapaku sekenanya.

"Iya, Mbak. Di perusahaan mana sekarang, Mbak?"

Aku hanya tertawa mendengar pertanyaannya. Sudah, tidak perlu menjawab apa yang tak harus diketahuinya. Aku mengangguk dan dia pun mengerti untuk membiarkanku masuk.

Melangkah ke resepsionis, aku mengenali Sernita, si gadis lugu nan cantik masih setia di posnya. Hampir enam bulan aku meninggalkan gedung ini, ternyata dia masih belum dirotasi.

"Hai, Nit!"

"Eh, Mbak Andin." Dia langsung mengenaliku.

"Bantuin naik dong," pintaku. "Mau ke departemen pengembangan. Ke ruangan Doni," aku menjelaskan.

"Sudah ada janji Mbak?"

Aku menaikkan alisku sebelah. Tak percaya Sernita menanyakan jadwal temj padaku untuk bertemu Doni. Maksudku, apakah seorang pacar harus membuat janji temu untuk menemui pacarnya sendiri? Terlebih lagi, aku adalah mantan pegawai di sini, mereka harusnya bisa percaya padaku jika aku masuk ke dalam sekali pun. Terlebih lagi ini jam makan siang. Biasanya tamu jinak sepertiku lebih leluasa masuk.

Mengerti keherananku, Sernita menyerah dan mengangkat telepon. "Saya telepon aja ya, Mbak. Siapa tahu Mas Doni sudah keluar."

Cukup adil. Aku pun mengangguk. Membiarkan Sernita melakukan tugasnya, mataku nyalang menyapu sekitaran lobi utama ini. Denting lift berbunyi, dari balik pintu yang bergeser membuka, belasan karyawan melangkah keluar. Rata-rata hanya membawa dompet, tapi beberapa kulihat membawa botol minum. Hingga, diantara belasan karyawan itu, muncul dua sosok yang kukenal. Sangat aku kenali, luar dan dalam.

"Mbak, Mas Doni sudah keluar istirahat." Sayup-sayup suara Sernita menganggu konsentrasiku yang sedang fokus memperhatikan gerak-gerik dua sosok itu.

Aku berbalik dan tersenyum miris. "I know," jawabku lirih sambil mengisyaratkan Sernita untuk melihat dua insan dibelakangku yang sedang melangkah keluar gedung seraya bergandengan.

Sernita hanya menunduk kaku. Dia mungkin tak tahu harus bereaksi seperti apa. Apalagi aku, rasanya sekujur tubuhku mendingin. Darahku membeku tak mengalir lagi. Bolehkah aku mati berdiri saja?

Sungguh tak kuduga.
Setelah semua yang aku korbankan, ini yang kudapat.
Dia mempermainkan layaknya boneka.
Aku menggeram dan menggeleng pelan.
Tidak.
Tapi sayang, ingatlah, aku bukan boneka.
Aku. Bukan. Boneka.

—-bersambung...

UnKnown - DWC 2020Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang