Hening masih menyelimuti sesaat setelah amarahku meluap. Mengusir kekikukan, aku menolehkan pandang ke samping. Tanpa sengaja, mataku menangkap tajuk utama berita yang sedang tayang di televisi yang kami setel tampa suara.
96 orang terluka ... hanya itu yang sempat kutangkap. Namun, otakku teringat pada sebuah artikel yang kulihat di Instagram. Katanya, kalau tanpa sengaja melihat angka 96, artinya malaikat tengah menyampaikan pesan bahwa ini saatnya untuk menyelesaikan perjalananmu dan mulailah fase yang baru.
Apa ini memang pertanda bahwa aku harus mengakhiri segalanya? Mungkin memang harus berakhir. Aku menghela napas. Kulepaskan genggaman tangan Doni yang mengerat. Doni kembali menautkan tangannya bahkan kini berusaha meraihku masuk ke dalam pelukannya. Tentu saja aku mengelak.
"Please...," rayunya.
Aku menggeleng. "Aku sudah nempel sama kamu hampir satu jam. Aku rasa ini saatnya untuk kita bicara serius."
"Maaf," katanya. "Maaf untuk apa yang kamu lihat."
Aku tertawa. "Hanya yang untuk aku lihat? Gila kamu! Berapa banyak lagi yang kamu sembunyikan? Sejak kapan, Don? Sejak kapan?!"
Air mataku merembes tanpa tahu malu. Doni menyingkap rambutku ke balik telinga. "Jangan nangis," gumamnya. "Aku minta maaf."
"Enggak ada guna maaf kamu! Kamu tega banget sih! Sekarang jawab! Sejak kapan?"
"Empay bulan," jawabnya singkat. Empat bulan katanya? Artinya itu.... Seakan mengerti apa yang aku pikirkan, Doni mengangguk. "Iya, makanya aku enggak berani jumpa sama kamu selama empat bulan ini. Aku tahu, aku gak pintar berbohong."
Aku menangis semakin kencang. Semua yang aku korbankan buat dia memang berakhir sia-sia. Kurang aja kamu, Don! Batinku berteriak.
"Dia banget, Don?" tanyaku sarkas. Bagaimana tidak, aku mengenal baik wanita yang menjadi selingkuhan Doni. Rekan kerjaku dulu, bahkan kami pernah menjadi partner dalam sebuah proyek selama beberapa bulan. She almost be my best friend until it happened.
"It just happened. Aku juga gak tahu. Sejak kamu resign, aku praktis kerja bareng dia di semua proyek. We talked, we walked, and we...," ucapan Doni mengambang. Aku menatapnha dalam menantikan sambungan kalimatnya.
"We kissed." There, he said it. "Then, everything is changing."
Ya Tuhan... cobaan apa ini? Mau tidak mau, aku kembali histeris. Aku menangis, meronta bahkan memukul Doni. Namun, pukulanku lemah, energiku habis menahan sakit akibat luka yang laki-laki ini torehkan.
Lagi-lagi angka 96 muncul di televisi. Mungkin ini memang pesan dari malaikat atau bahkan semesta. Ini memang saatnya mengakhiri dan ada baiknya aku memulai fase baru hidupku.
Iya, ini saatnya. Ini adalah akhirnya.
Aku melepas lagi genggaman tangan Doni. Pelan-pelan aku berbicara, "You don't need to choose. I don't need you to choose. All you need to do is leaving." Putusku malam ini.
—bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
UnKnown - DWC 2020
Random[COMPLETED]Sebuah ketidaktahuan tentang ketidakpastian. Participant of npc2301's DWC2020 Cover ciamik by @alizarinlake