Penggoda

248 21 1
                                    

"Lepasin Doni." Perempuan tak tahu malu itu menyuruhku. Tentu aku tertawa. Kalau pun apa yang kupunya dengan Doni telah berakhir, tidak akan kubiarkan dia merasa menang. Dia perusak. Dia yang harusnya tenggelam.

"Sayang, Doni itu bukan apa-apa tanpa aku," kataku. Jelas saja. Laki-laki itu tidak memiliki apa yang dia miliki jika bukan aku yang membantunya. Aku yang menopang, menarik dan mendorongnya hingga dia ada di atas saat ini. Kalau pun memang berakhir, tidak akan kubiarkan dia ada di atas. Satu tolakan, dia bisa terjatuh ke dasar tanpa ampun. "You're just a rat that trying hard to stole a cheese."

"Sialan lo! Lo percaya lo sesempurna itu? Buktinya, Doni masih bisa ngelirik gue."

"Honey, lo itu cuma manekuin di mall tahu enggak. Di sentuh-sentuh, dilihat-lihat tapi enggak bakalan dipilih. Buktinya, lo 'kan yang ditinggalin? Mana bisa dia berpaling dari gue seutuhnya."

"Doni bilang dia sayang sama gue."

"Oh, please... Doni bilang dia enggak bisa hidup tanpa gue."

"Doni bilang dia bakalan terus sama gue. Dia bakalan balik ke gue."

Aku tertawa keras. Segitu aja? "Aduh, babe. Gue tanya ke elo, sudah berapa lama dia enggak hubungi lo? Sudah berapa lama dia cuekin lo kantor? Itu kan alasan lo datengin gue sekarang? Oh, iya," aku menjeda untuk efek dramatis, "Coba cek ke HR lo, kapan Doni efektif tidak bekerja di sana lagi."

"Iya, Doni 'kan resign biar bisa sama gue. Kan lo tahu, kantor enggak boleh ada romantika."

Jawaban perempuan tak tahu diri ini menyadarkanku. Bego! Kenapa aku tidak terpikir mengenai hal itu saat Doni merayuku kemarin? Tapi, aku tidak akan kalah. Tidak. Tidak saat aku sudah kehilangan segalanya. "Babe, kenapa mimpi terus sih?" Aku mengangkat telapak tanganku ke depan bibir. Kutunjukkan jemari lentikku. Kulambai-lambaikan juga di depan wajah liciknya. "Kalau lo emang segalanya buat Doni, cincin ini enggak ada di jari gue sekarang. So, you better get off, girl."

Terlihat sekali dari wajahnya, dia merasa kalah. Kecewa meliputi rautnya. Matanya memerah. Bukannya iba, aku terbahak. You lose, girl. "Lain kali, main cantik dong, kalau mau jadi penggoda." Aku berbalik pergi meninggalkan dia.

Aku mungkin menang saat ini tapi aku tahu, aku kalah sejak lama. Sial! Kenapa perpisahan dengan sial ini masih saja begitu berat?

—bersambung

UnKnown - DWC 2020Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang