Chapter 16

90 29 128
                                    

|♉IG @fira

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

|♉IG @fira.prilia|

Alia menangis sesenggukan. Gadis ini tidak menyangka kalau Gio mengalami hal seperti itu. Ia benar-benar bersyukur bahwa keluarganya masih harmonis dan semoga selamanya harmonis.

"Aduh, udah Al cup-cup." Rhea menenangkan Alia dengan menepuk pelan bahu sahabatnya ini. Ia bahkan sudah pindah di samping Alia.

"Terus Ayah kandung Gio ga pernah gitu ngabarin dia?" tanya Alia setelah menyeka ingus menggunakan tisu.

Alia memandang Rhea yang tampak berfikir, "Hem, setau gue cuma pas lebaran ayah dia pulang ngasih uang gitu setelah itu pergi lagi."

"Oh ya Al, ini yang pengen banget gue kasih tau ke lo. Waktu itu gue disuruh nyokap buat ngehibur dia terus suatu ketika gue tanpa sengaja liat Gio tiba-tiba ketawa lalu beberapa menit kemudian nangis. Dan ini yang lebih parah, gue waktu itu mainin robot kesayangan dia tanpa izin dulu habis itu dia langsung maki-maki gue. Waktu itu gue langsung nangis saking kagetnya, itu kali pertama gue lihat dia semarah itu, tapi detik berikutnya dia langsung senyum kemudian meluk gue."

Alia menyimak penuturan Rhea dengan serius, bahkan tanpa berkedip.

"Terus gue aduin sifat Gio yang bisa berubah drastis ke nyokap. Habis itu Bunda maksa Gio ke psikolog tapi anaknya yang keukeuh ga mau. Sampai akhirnya Tante Rina bawa Gio pindah ke rumah papa barunya. Dan keluarga gue lost contact sama Gio."

"Hingga akhirnya pas smp Gio pindah lagi kesini dan nyokap gue mau bilang ke Tante Rina perihal waktu itu tapi karena sifat Gio yang udah balik normal kayak anak biasanya, alhasil nyokap gue ga jadi bilang."

Alia mangut-mangut lalu menatap Rhea dengan mata berkaca- kaca, "Gio dulu depresi yaa??

"Hem gue juga kurang tau, kayaknya sih iya. Tapi itu baru sekedar asumsi, kan harus ada diagnosa dari dokter. Semoga itu cuma sebatas asumsi ga lebih," sahut Rhea setelah menyeruput lemon tea.

Alia tidak bisa berkomentar apa-apa. Ia serasa kehabisan kata-kata. Ternyata dampak perceraian bisa berakibat sebegitu buruknya untuk kesehatan sang anak. Terlebih lagi pada kesehatan mental.

Alia tidak bisa membayangkan jika dirinya yang ada diposisi Gio. Tidak akan pernah bisa.

Sekarang dia faham alasan dibalik perilaku Gio yang begitu menjaga dirinya. Begitu mengekang dirinya. Ia jadi teringat artikel yang semalam sempat ia baca.

' Anak dari keluarga broken home cenderung akan menjadi lebih posesif dalam lingkungan pertemanan atau percintaan. Hal ini dikarenakan anak broken home secara emosional lebih haus kasih sayang karena tidak mereka dapatkan dari keluarganya. Selain itu, anak broken home juga cenderung memiliki rasa cemburu yang berlebihan pada orang di sekitarnya.'

Sekali lagi ia kembali bersyukur. Bersyukur masih bisa bercanda gurau dengan kedua orang tua kandungnya. Semoga keluarganya selalu diberi perlindungan. Amin.

♀️❤️♂️

Tidur Gio terusik oleh perutnya sendiri. Perutnya seolah menyanyi minta diisi apalagi ketika indera penciumannya menangkap aroma lezat makanan.

Eh tunggu?

Hidungnya tidak salahkan?

Dengan sigap lelaki ini bangkit dari tidurnya. Siapa? Perasaan di rumah hanya ada dirinya dan Anang.

"Enghh ..!" Gio merenggangkan ototnya yang terasa kaku. Pantas saja badannya jadi pegal ternyata ia ketiduran di sofa.

Suara gaduh dari arah dapur semakin terdengar. Gak mungkin Anang yang melakukannya kan?

"Loh Mama?"

"Eh sayang udah bangun ya," Gio pun menghambur memeluk Rina dari belakang.

Walaupun dulu perilaku Rina pernah menyakiti hatinya. Tapi harus ia akui, Gio merindukan Rina. Ia rindu kasih sayang ibunya. Ia rindu kehangatan seorang ibu. Akhirnya wanita ini pulang juga setelah hampir sebulan sibuk bekerja di luar kota.

"Abang kangen ya,"  Rina mengusap lembut tangan kekar Gio yang memeluk pinggangnya.

"Gak," dustanya dan dibalas kekehan kecil oleh Rina.

"Sana, sapa papa kamu dulu gih. Papa kamu lagi ada dikamarnya Anang."

Dengan patuh, Gio melepaskan pelukan pada pinggang ibunya. Yah walaupun masih tidak rela sih. Dengan langkah yang sedikit malas ia segera menuju kamar adiknya.

"Eh Abang sini," ujar Anang yang melihat Gio berdiri di ambang pintu.

"Papa nyampe sini jam berapa?" tanya Gio basa-basi sambil mencium punggung tangan ayahnya.

Malik tersenyum, "Jam 5 bang."

"Oh ya ini Papa bawain oleh-oleh," lanjutnya sambil menyerahkan bingkisan.

Dengan segera ia membuka bingkisan itu, dan ternyata isinya game play station terbaru.

"Wih makasih Pa, keren banget. Emang papa paling ngerti Gio haha ..."

Malik yang melihat itu semakin tersenyum lebar, "Iya dong Papa gitu loh."

"Nanti malem kita main ps ya. Papa kangen main sama kamu."

Gio tersenyum lebar, "Oke Pa, kita main sepuasnya." Detik berikutnya high five dari keduanya pun terdengar.

"Anang juga mau ikut main game dong," celetuk Anang.

"Gak boleh kamu masih kecil," balas Malik dengan tegas membuat Anang mengembungkan pipinya.

"Ayo makan dulu!" ajak Rina yang tiba-tiba muncul. Tanpa ba bi bu lagi Anang dan Malik bergegas menuju meja makan.

Setelah kepergian Malik, senyum lebar yang terpatri diwajah tampan Gio mendadak luntur digantikan dengan raut wajah tak terdefinisi.

"Eh bang, bilang Alia besok malem kita mau ke sana." Gio hanya mengangguk menanggapinya. Melihat itu Rina pun berbalik meninggalkan Gio.

"Papa gimana ya kabarnya?" gumam Gio sembari menatap hadiah dari Malik.

Bolehkah Gio jujur?

Papa Malik, seorang ayah yang baik menurut Gio. Selama beberapa tahun Gio dulu sempat menjaga jarak dengan Malik. Karena hatinya masih tidak bisa menerima kehadiran ayah baru.

Apalagi ketika Ibunya hamil lagi dan kemudian lahirlah Anang. Saat itu Gio benar-benar takut akan dikucilkan. Tetapi Malik malah sebaliknya. Ia menganggap Gio seperti putranya sendiri dan tidak membedakan dirinya dengan Anang.

Lambat laun, Gio menerima kehadiran Malik. Tapi hatinya terkadang masih saja terasa kosong. Kehadiran Malik seolah masih belum bisa mengisi kekosongan itu. Yang diinginkan Gio adalah ayah kandungnya dan perhatian penuh dari ibunya.

Tapi nyatanya, ibunya makin gila kerja dan begitu pula Malik. Rumah yang harusnya menjadi tempat berbagi kehangatan malah terasa makin hampa. Hal itu membuat Gio kadang menatap iba pada Anang. Seharusnya bocah sepertinya harus banyak diberi kasih sayang, bukannya harta. Harta memang perlu, tapi kasih sayang jauh lebih diperlukan.

Jujur Gio nyaman dengan sifat ke-ayah-an Malik. Lelaki itu benar-benar ayah yang baik. Tapi, Gio merindukan sosok Dodi.

Bagaimana ya jika kedua orang tuanya dulu tidak egois dan memilih cerai? Pasti Gio akan menjadi anak yang bahagia sekali.

❤️

Jangan lupa klik vote🌟, comment💬, share♻, dan juga follow✅ biar saya tambah semangat gitu hehe.. Don't be a siders guys okay..👌

See you next chapter ♥♥

Let Me Hate You |On Going|✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang