19. Masa Lalu

3 1 0
                                    

(Bab ini menceritakan POV Kev.)
"Tapi, Pak, Kev tidak mungkin melakukannya sampai temannya seperti itu," tukas seorang ibu kepada guru itu.

"Jadi, saya harus melakukan apa? Saya tahu, orang tua Kev orang itu cukup berada dan cukup berpengaruh di sekolah ini. Tapi, saya juga tidak bisa mengabaikan permintaan seluruh orang tua murid, Bu," jawab guru itu.

Aku hanya duduk terdiam di luar ruangan itu sendiri sambil memainkan kuku jemariku.

Braaakk..
Pintu terbuka kasar.
Aku masuk, sudah tak tahan akan pembicaraan antar dua orang dewasa di ruangan ini.

"Saya menerima semua konsekuensi dari sekolah," jawabku singkat.

Ibu yang sedang berbicara dengan Bu guru adalah Bik Isa, orang dewasa yang hadir sebagai waliku saat ini. Ayahku tidak dapat datang karena sibuk dengan pekerjaannya. Ke mana ibuku? Ya, tepat. Dia sudah meninggal ketika aku duduk di kelas 3 SD.

Saat ini aku sudah duduk di kelas 1 SMA. Aku gemar menjahili temanku, namun hanya jahil ringan saja. Aku termasuk salah satu anak yang pintar, karena masuk ke SMA bergengsi ini murni dengan isi kepalaku sendiri. Namun banyak juga yang mengira, bahwa aku masuk ke sini dengan bantuan besar dari ayahku. Aku menghiraukannya, karena itu tidaklah penting. Aku sudah membuktikan itu ketika semester 1. Aku berhasil meraih juara 1 kelas dan mendapat umum ke 2 sesekolahku ini.

Sifat jahilku sudah ada semenjak aku SD. Sangat susah rasanya untuk menghilangkan rasa jahilku ini, karena tidak ada seorang pun yang dapat menghentikanku. Untung saja aku dianugerahi otak yang encer, sehingga semua kejahilanku dapat tertutupi dengan baik.

Namun, terjadilah hal buruk ini. Saat ini, aku tengah menjadi tersangka atas cedera nya temanku, sehingga menyebabkan kakinya membutuhkan waktu pulih yang sangat lama.

Benar, aku tidak dapat menyalahkan dia karena dia kurang atletis. Jadi, apakah aku harus menyalahkan diriku saat ini? Aku mengklaim diriku, bahwa aku jahil, tapi aku tidak nakal.

Ayahku tidak akan, bahkan tidak akan pernah memarahiku. Ketika aku mendapat hal seperti ini saja, ayahku tidak dapat datang untuk membelaku saat ini. Hanya Bik Isa, Paman Joh, dan si Mamang saja. Hanya mereka, orang dewasa yang membesarkanku sampai saat ini. Aku sungguh lebih menyayangi mereka bertiga dibandingkan ayahku saat ini.

Sebenarnya, tidak ada masalah apapun antara aku dan ayah. Hanya saja ayah selalu sibuk dengan pekerjaannya. Sehingga aku merasa, aku hidup tanpa ada sosok seorang ayah yang tepat. Tidak ada artian penting. Aku hanya seseorang yang harus ditanggungjawabi, bagi ayah. Menurutku. Namun belum lama ini aku mengetahui alasan di balik ayahku, yang seolah olah ingin aku jauh dari kehidupan ayah.

"Apa maksud kamu, Kev? Kamu harus sekolah!" teriak Bik Isa.

"Tapi aku sudah melukai temanku. Aku harus mendapat konsekuensi yang sama seperti temanku. Bik, dengar aku sekali ini saja,"

"Tapi Kev, ayahmu..."

"Dia tidak akan pernah datang dan tidak akan pernah menemuiku," jawab Kev lirih.

"Ayahmu melakukan itu semua karena ada alasannya Kev," ucap Bik Isa.

"Aku tahu, Bik," jawabku dalam hati.

"Kev, apakah kamu tahu apa kensekuensi dari perbuatan kamu ini?" tanya guru itu.

"Ya, aku tahu, dan aku bersedia."

Bik Isa hanya bisa terdiam dengan keputusan yang sudah kuambil saat ini. Selama perjalanan pulang, aku, Bik Isa, dan Mamang hanya diam.

"Kev, mau ke mana? Biar Mamang temenin," ucap Mamang memecah keheningan di dalam mobil.

"Kita ke tempat tukang bakso yang sering aku datengin aja, Mang. Kangen juga makan di sana," jawab Kev riang.

"Oalah, Kev, kamu laper? Padahal Bik Isa bisa aja bawa bekal untuk kamu tadi," kata Bik Isa.

"Aku baru laper kok, buruan, Mang," kata Kev sambil memukul pundak Mamang.

Semenjak hari ini, tepat di pertengahan semester kedua ini, Kev telah mengakhiri pendidikannya di SMA bergengsi itu.

Beruntung bahwa ayahku adalah salah satu sponsor terbesar di sekolah itu, sehingga Bik Isa bisa memohon kepada pihak sekolah untuk membiarkan aku melakukan homeschooling dengan guru dari pihak sekolah. Tidak lupa Bik Isa meminta agar aku dinaikpindahkan dari sekolah lama ke sekolah baruku nanti.

Sebenarnya, sekolah lamaku saat ini terancam dengan kehilangan salah satu sponsor terbesar mereka. Bagaimana tidak? Pihak sekolah kini tengah men-DO paksa aku dari sekolah itu. Bik Isa menceritakan masalah yang tengah aku hadapi saat ini melalui telfon. Tentu saja hal ini dilakukan tanpa sepengetahuanku. Akhirnya, ayahku memberikan kesepakatan kepada pihak sekolah, akan terus melanjutkan sponsor jika masalah yang tengah aku hadapi saat ini tidak tersebar luas ke manapun, terutama ke sekolah baruku.

Pihak sekolah menerima kesepakatan itu tentunya. Entah bagaimana cara sekolah menutup hal itu, ayahku telah memberikan tanggungjawab itu kepada pihak sekolah.

Kini aku di rumah. Kesepian. Rumah besar ini ternyata sangat sepi. Setiap hari aku merenungkan akan apa yang telah aku perbuat selama hidupku. Selama di rumah, aku menghabiskan waktuku untuk menjadi pria yang lebih dewasa dan bertanggungjawab. Sekali lagi aku berkata, aku sangat beruntung memiliki otak yang encer. Sehingga mudah bagiku untuk mempelajari hal baru.

Ayahku meminta kepada seluruh isi rumah agar pindah ke kota lain pada bulan Mei. Ternyata diam-diam ayahku telah mencari sekolah baru untukku di kota lain. Tentunya, aku mengiyakan hal tersebut. Jika berada di kota ini, tidak mungkin bagiku untuk dapat menghindar dari teman sekolah lamanya. Aku sangat tidak ingin mencari masalah lagi.

Mei telah tiba. Aku 'sekeluarga' telah tiba di rumah baru yang sedikit lebih kecil dari rumah lamaku. Namun, tetap saja ini besar. Hal keamanan tetap ketat karena trauma masa kecilku, yang tidak ingin lagi terulang oleh siapapun dan kapanpun itu.

Aku mendapat alamat sekolah baru dari ayahku. Tanpa pikir panjang, aku langsung mengendarai motorku untuk melihat sekolah baruku. Cukup bagus, pikirku.

Seorang Kev diam diri setelah menaiki motornya? Tidak mungkin. Jika aku sudah berada di atas motorku, sudah pasti aku akan berkeliling untuk menghafal jalan-jalan yang akan aku lewati. Aku juga harus menghafal setiap daerah dan jalan terpencil sekalipun.

Suatu hari, aku melihat seorang perempuan yang tengah berdiri di depan etalase toko roti. Perempuan itu hanya berdiri dengan tangan kiri yang memegang buku yang mungkin sudah tidak muat lagi ditas, dan tangan kanan yang memegang botol minuman.

Aku menghampiri perempuan itu.

"Kamu ga mau masuk?"

Perempuan itu terkesiap.

"Eh, kamu siapa?"

"Kamu ga mau masuk?" tanyaku lagi.

Warna warni cream di atas cake kering itu sangat indah. Ada juga roti dengan berbagai bentuk, rasa, dan topping yang sangat indah dilihat mata.

"Kamu nungguin siapa?" tanyaku.

Perempuan itu hanya diam, menganggap aku hanya angin.

"Kamu suka roti?"

Perempuan itu langsung menoleh dan tersenyum.

"Saya sangaaaaat suka roti!!"

🏁🏁🏁🏁🏁

Bread in SchoolTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang