2. Benci dengan Kekurangan

15 1 0
                                    

Angin berhembus diiringi dengan daun daun kering berguguran. Nampak berantakan namun tetap sedap dipandang. Dedaunan berwarna kuning keemasan menambah warna yang membuat mata lebih segar. Sore ditemani oleh angin sepoi-sepoi. Sambil duduk di bawah pepohonan rindang dan menyesap teh yang panas dan manis.

Val tenggelam dalam renungan kejadian menyebalkan hari ini. Masih teringat dengan jelas mengenai roti yang dirampas paksa oleh seseorang yang tidak mengenal Val. Hati masih gusar jika mengingat hal yang telah dilewati hari ini dan begitu malas untuk melihat wajahnya besok.

Begitulah pemikiran Val sore ini. Sambil belajar, dia masih mengingat akan roti special yang susah didapat ketika jam makan siang.

"Bibi udah pulang?"

"Iya. Kamu udah makan belum? Ini Bibi bawa sedikit ayam goreng. Kamu makan yah."

Pikiran mengenai kejahatan ibu tiri selalu ditepis oleh Val, walau terkadang bermulut pedas, sebenarnya bibi memiliki hati yang lembut.

"Lebih baik sedikit saya bumbui ayam goreng ini," batin Val dalam hati.

Val memasak sepenuh hati sambil menyenandungkan lagu kecil.

"Udah masak belum? Gue udah lapar banget nih," Nol tiba-tiba ngedumel di meja makan.

"Iya, ini bentar lagi. Tunggu dingin bentar sambelnya," kata Val yang sibuk membersihkan dapur.

"Lama banget sih lu, ini perut gue udah keroncongan, sumpah!"

Nol langsung ke dapur dan mengangkat semua makanan yang ingin di makan keluarga itu.

"Tunggu, Nol, saya ambil dulu sepotong,"

"Diem lu! Mendingin lu makan bareng kita. Jangan nolak perintah gue!"

"Tapi, saya ga enak." kata Val kecil hati.

"Kalo Ibu gue marahin lu, gue yang bakal bela lu. Jadi, lu cepet ke sini, duduk di sebelah gue. Cepetan!"

"Oke."

Selama ini Val selalu merasa sungkan untuk duduk berbarengan dengan keluarga Arnol. Baik di waktu senggang maupun di waktu makan. Val selalu berfikir bahwa tidak seharusnya Val berada di keluarga itu.

"Tumben Val di sini," kata bibi ketika melihat Val berada di meja makan.

"Aku yang ajak, Bu. Ngapain juga Val makan di belakang, padahal meja makan ada di sini,"

"Ya, terserah dia dong mau makan di mana. Dulu juga ibu selalu ngajakin Val makan di sini, tapi dia nolak terus."

"Aku makan, Bu. Val, lu makan juga! Jangan pindah!"

"Iya, Nol."

Tidak pernah bisa Val menolak segala perkataan yang dikeluarkan Nol dari mulutnya. Semua yang dikatakan Nol tidak pernah membuat Val terintimidasi, tidak seperti perlakuan ibu Nol kepada Val. Tidak pernah Nol sedikit pun menyakiti Val, kemungkinan besar karena Nol sudah sama-sama hidup dengan Val mulai dari kecil.

"Gimana sekolah lu, Val? Baik-baik aja hari ini?"

"Iya, baik-baik aja."

"Habis makan, nanti jam 8 kita keluar. Lu asik belajar mulu, percuma gue punya adik,"

"Tapi saya harus belajar, Nol."

"Setelah balik, lu belajar. Gitu aja kok repot,"

"Kamu tidak boleh begitu, Arnol. Jika Val ingin belajar, jangan menghalanginya," bibi tiba-tiba menyela di dalam perbincangan Val dan Nol.

"Ibu jangan ikut campur urusan kami ya, ini hubungan antara saudara yang tidak boleh ibu ketahui," kata Nol sambil menyendok kan makanan ke dalam mulutnya.

Sudah sekian lama, Val tidak pernah merasakan obrolan manis seperti ini saat makan di rumah. Entah bagaimana cara Val untuk dapat mendekati bibi yang sudah seperti orang tua bagi Val.

***

"Selamat pagi, semuanya. Oh, Val, temen kamu masih belum masuk?"

"Belum, Pak," jawab ketua kelas, Bona.

"Oke, kamu, anak baru, duduk di sebelah Val. Minta tolong juga ke Val supaya menemani kamu membeli beberapa buku cetak yang kita pergunakan selama belajar mengajar."

Val sudah tidak bisa membantah suruhan Pak Andro, wali kelas Val.

***

Bel berbunyi. Semua murid berhamburan keluar kelas sembari menggendong tasnya masing-masing.

"Ria, temenin saya dong,"

"Apaan sih, ga lihat aku udah dijemput sama mami?"

"Kamu dijemput lagi? Yah, bisa-bisa saya ga ada temen pulang lagi,"

"Ya ga selamanya juga, Val. Udah, Kev ga bakal gigit kamu kok! Oh ya, mau hujan, jangan kelamaan belanjanya. Kamu kan gampang flu,"

"Makasih, Ria." jawab Val sambil menunduk.

Val sedang menunggu Kev yang kebetulan sedang dipanggil ke Tata Usaha untuk melengkapi formulir pemindahannya. Sambil mendengar alunan musik instrumen, Val tampak tenggelam dalam musik itu.

"Ooyy, lama nunggu?"

"Lama banget."

"Ria mana? Tumben ga nemenin kamu?"

"Dia udah pulang duluan. Hari ini dia dijemput lagi sama maminya,"

"Oh, ya udah. Sekarang kita ke mana? Aku ada bawa motor, ayo."

Tiba-tiba mata Val tampak kosong seolah ketakutan dan beberapa anggota badannya gemetaran. Suasana sekolah yang sudah sepi membuat keadaan semakin menakutkan bagi Val.

"Ayo," Kev menarik tangan Val.

Val tampak mengikuti semua perintah Kev tanpa menolak. Setelah membawa motor, Kev merasa bingung, apa Kev melakukan kesalahan lagi? Apakah Val masih marah karena rotinya belum bisa diganti oleh Kev?

Sambil mengendarai motor besarnya, Kev mencoba berbicara dengan Val, berharap Val tidak marah lagi.

"Val, kamu masih marah?"

Namun Kev masih tidak mengerti. Val memeluk Kev erat sehingga membuat Kev merasa sesak di bagian perutnya.

"Val, kamu ga apa-apa? Jangan buat aku semakin bersalah dong!"

Pada akhirnya Kev dan Val sampai di toko buku terdekat dengan sekolah mereka. Val masih tetap memeluk Kev sambil menutup matanya.

"Val, kita sudah sampai. Apa kamu tidak mau melepaskan tanganmu? Sungguh, sangat sesak perutku. Terlalu erat," kata Kev sambil memegang tangan Val.

"Maaf."

Hanya kata maaf tersebut yang keluar dari mulut Val sepanjang perjalanan. Tampak Val menghirup nafas kuat dan menghembuskannya dalam dalam.

"Apa kamu takut dibonceng denganku? Jika kamu takut, besok aku bawa mobil," Kev takut semakin bersalah.

"Udah, ga usah. Lagian kita bakal dapetin semua bukunya di sini."

"Bagus kalau begitu. Bisa bisa aku mati kesesakan karena kamu,"

"Ayo masuk."

Val tampak sangat menyesal mempunyai kekurangan yang dia miliki. Kekurangan yang mungkin lebih cocok disebut dengan trauma. Begitu menyakitkan sampai sangat takut untuk menaiki sepeda motor. Sedangkan Kev masih kebingungan dengan sikap Val yang selama ini tampak kuat, tegas, tanpa satu kekurangan apapun, tapi ternyata sangat ketakutan untuk menaiki sepeda motor. Oleh karena itu, Kev jadi tertarik dengan kepribadian Val.

"Ayo, masuk."

Kev menarik tangan Val dengan harapan Val dapat kembali ke keadaan semula. Tangan Val yang masih gemetaran, digenggam erat oleh Kev agar segera hilang. Sambil memandang Val yang masih memiliki tatapan kosong, Kev berusaha menghibur dan mengajak obrol Val dengan pertanyaan yang tidak mengandung sensitivitas. Sungguh baru kali ini Kev mendapati seseorang seperti Val. Padahal baru saja Kev mengenal Val, namun seperti sudah berteman sejak lama dengan Val.

🏁🏁🏁🏁🏁

Bread in SchoolTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang