Taeyong keluar dari mobilnya sembari menenteng tas di tangan kanan sementara satu cup Iced Americano di tangan kirinya. Baru jam delapan lebih lima menit, tapi dia sudah menghadiri satu pertemuan penting bersama investor di salah satu coffee shop sekitar hotel. Aneh juga, harusnya mereka bertemu di restoran hotel saja, kenapa repot-repot harus bertemu di tempat lain?
Taeyong masuk ke dalam lift, baru juga sampai lantai satu, pintu kembali terbuka menampilkan seorang wanita berpakaian rapi dan mahal—Taeyong bisa menilai dari mulai heels, hand bag, skirt, sampai kemeja dan blazernya; dia sudah tahu kalau wanita itu memakai outfit setidaknya hampir seratus juta.
Kalau saja tidak melihat lanyard yang tergantung di lehernya, Taeyong sudah mengira kalau wanita itu salah satu tamu hotel.
Tapi siapa dia? Taeyong belum pernah melihatnya sebelumnya.
"Karyawan baru?" pertanyaan itu terlontar begitu saja. Taeyong memang orang yang straight-forward, dia tidak bisa menahan diri dari rasa penasaran pada wanita yang berdiri disampingnya.
"Iya, pak," wanita itu membungkuk sopan. "Selamat pagi."
Taeyong menarik salah satu sudut bibirnya, membentuk seringai yang samar. Ia melirik jam tangannya; jam delapan lebih tujuh menit. Taeyong menoleh, memperhatikan penampilan wanita itu dari atas hingga bawah—ini bukan hal yang biasa ia lakukan, karena sangat tidak sopan menilai penampilan seseorang seperti ini. Tapi lagi-lagi dia dihinggapi rasa penasaran yang tidak bisa dibendung.
"Dan... telat?"
Wanita itu menghela nafas gugup.
"Maaf, pak," ucap wanita itu dengan nada pasrah. "Tadi jalanan agak macet, jadi saya—"
Taeyong mendecih begitu mendengar jawaban wanita itu. "Alasan yang klise."
Dia sudah bosan mendengar karyawan yang telat mengutarakan hal yang sama setiap kali terlambat. Macet lah, ban bocor, mobil mogok, ada kecelakaan lah, apalah—Taeyong tahu itu hal yang sulit dihindari, tapi ada yang namanya "sedia payung sebelum hujan", kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi, jadi kenapa tidak prepare untuk berangkat lebih awal?
"Impresi yang baik untuk hari pertama kerja," sindirnya dengan nada tajam. Sebenarnya Taeyong bukan orang yang memperlakukan orang lain seburuk ini, hanya saja dia tidak suka orang yang menyelepekan waktu; bekerja di field ini selama hampir delapan tahun membuatnya tahu bahwa setiap waktu itu berharga, dan setiap waktu adalah uang.
Taeyong suka uang. Well, siapa yang tidak suka?
"Divisi apa kamu?"
"Finance and Accouting, pak."
Noted. Dia harus memperingati Jonghyun—kepala divisi finance and accounting—bahwa salah satu karyawannya membuat kesalahan fatal di hari pertama kerja. Ia melirik ID Card yang menggantung di leher wanita itu. Matanya sedikit menyipit untuk membaca huruf hangul disana; Shin Ryujin.
"Siapa yang interview kamu waktu recruitment?"
Wanita bernama Shin Ryujin itu terlihat gelagapan. Taeyong memutar bola matanya; selain menyepelekan waktu, wanita didepannya ini ternyata pelupa. Gimana mau jadi accounting kalau hal-hal seperti ini saja lupa? Interview kerja itu salah satu hal yang penting sebelum masuk kerja, setidaknya—menurut pengalaman Taeyong—dia akan mengingat nama interviewernya.
Tujuannya apa? Supaya someday kalau ia butuh sesuatu, dia mungkin bisa meminta bantuan mereka. Orang cenderung senang apabila diingat, dan Taeyong memanfaatkan hal itu untuk hal-hal tertentu, apalagi bekerja di bidang perhotelan seperti ini networking itu penting.
"Lupa? Kamu juga pasti lupa salah satu regulasi di hotel ini, kan? Regulasi paling penting buat semua karyawan; harus menghargai waktu, ketepatan waktu itu hal yang utama."
"Iya, pak, mohon maaf,"
Taeyong mendecih, lagi. Baiklah, katakan bahwa wanita itu lupa nama interviewernya. Lalu bagaimana dengan hal sekecil ini—wanita itu bahkan lupa memencet tombol 31 untuk menuju ruang kerjanya. Entah wanita itu pelupa atau memang terlalu gugup; yang jelas dua hal itu adalah sifat yang paling dibenci Taeyong.
"Selain nggak menghargai waktu, pelupa, kamu juga ceroboh ya..." Taeyong berdecak kesal, lalu memencet tombol 31 yang suskes membuat mata wanita itu mengerjap dengan gugup. "Masa lupa mencet lantai tujuan dimana. Ini baru hari pertama kerja, gimana hari-hari berikutnya?"
"Iya pak, maaf,"
"Minta maaf aja terus,"
Selesai mengucapkan kalimat itu Taeyong keluar dari lift dengan perasaan dongkol. Setelah disibukkan dengan pertemuan dengan investor di pagi hari—bahkan sangat pagi, jam enam; disaat seharusnya dia masih bergumul di kasur—dan begitu tiba di hotel di langsung disambut oleh seorang karyawan baru yang incompetent.
Dan yang paling parah... wanita itu ada divisi krusial di hotel. Bukannya Taeyong meremehkan divisi lain, hanya saja wanita ceroboh itu akan berhadapan dengan angka-angka yang jika salah satu angka saja bisa membuat kesalahan fatal.
Dia tidak bisa mempercayai wanita itu; Shin Ryujin.
Lee Taeyong (29)
a/n
Gimana nih prolognya?
Jadi sesuai judulnya "Vice Versa", karakter mereka tuh beda banget satu sama lain. Jadi ibaratnya, karakter yang dibenci Taeyong itu ada di Ryujin, begitupun karakter yang nggak disukai Ryujin ada dalam diri Taeyong. Nah iya, kurang lebih gitu wkwk.
Actually, ini hal baru buat aku; menulis menggunakan sistem kayak gini—sudut pandangnya orang ketiga, tapi di setiap chapter bakal fokus ke sudut pandang salah satu karakter. Duh, gimana ya jelasinnya tapi semoga kalian paham wkwk.
Yang udah baca It Started In The Winter sama Acrasia, kaget nggak lihat karakter Taeyong disini? Wkwk.
Pokoknya, selamat membaca ya...
Ini masih prolog, semoga kalian semangat menunggu chapter berikutnya
KAMU SEDANG MEMBACA
Vice Versa
FanfictionHe hates her and vice versa; she also hates him. Mereka nggak terjebak dalam situasi love-hate relationship, bahkan mereka nggak ada "relationship" apa-apa selain hubungan antara atasan dengan bawahan. Tapi kok bisa mereka saling benci satu sama la...