14. Escape

684 183 37
                                    

Gue belum pulang lagi ke rumah. Selama tiga bulan terakhir tinggal sama Bunda. Rumah gue sama Bright sudah lama tidak diisi, paling Mingyu yang menengok takut ada apa-apa.

Semakin lama perut gue membesar, untung saja gue gak begitu merasakan ngidam dan morning sickness. Tuhan sangat baik tidak membiarkan gue sakit. Setelah cek ke dokter kandungan pun katanya bayi gue sehat dan kuat. Tinggal pola makan dan asupan gue yang dijaga.

Gue sudah lost contact dengan Bright, dan dengar-dengar dia mau menikah sama Gigie kalau surat perceraian kami sudah ada. Well, gue enggak peduli lagi.

Romeo masih sering menghubungi gue. Gue menjelaskan keadaan gue sekarang dan meminta maaf karena gak bisa ketemu dia. Dalam keadaan dan situasi kayak sekarang, gue beneran tidak mau menjalin hubungan baru. Gak bermaksud untuk menyakiti dia, apalagi dia orang baik yang selalu membantu. Tapi jujur aja, walaupun gue suka sama Romeo, sekarang— gue gak bisa bersama dia. Banyak hal yang harus gue pikirkan.

"Kakak kok ngelamun? Mikirin apa?"

Gue yang sedang memikirikan banyak hal, langsung dibuyarkan oleh pertanyaan Bunda.

Gak lama Bunda ikut duduk disamping gue sambil meletakan piring berisi buah-buahan kesukaan gue.

"I still can't believe this, I can't wait when the baby calls me Mama."

Meskipun gue tau masih butuh beberapa bulan lagi, tapi memikirkan hal itu bikin gue senyum. Semoga dengan adanya anak nantinya, akan membuat gue lupa sama hal-hal yang menyakiti gue saat ini.

"Tunggu beberapa bulan lagi, kamu bisa beli baju-baju dan perlengkapan buat baby." ujar Bunda

"I can't wait for it Bun. We will travel around the world together."

***

"Kak, ada Romeo didepan."

Gue yang lagi selonjoran karena kaki pegal dan agak bengkak, langsung syok pas Mingyu bilang ada Romeo.

"Terus kamu bilang kakak ada?" tanya gue

Mingyu menatap gue, "Kakak pikir dia percaya kalau adek bilang kakak lagi pergi? Dia tau banget kakak gimana."

Gue menghela napas dalam dan mau gak mau harus menemui Romeo. Kasian jauh-jauh kesini kalau harus balik lagi.

Masih memakai daster gue menemui Romeo di ruang tamu. Dan sadar kalau rambut dia mulai gondrong. Ternyata lama juga gue gak ketemu dia yang selalu ada.

"Kok gak bilang mau kesini?" tanya gue

Romeo malah senyum, "Emang kalau aku bilang mau kesini kakak izinin?" balasnya

Dia tau banget kalau dia bilang mau kesini gak akan gue izinkan.

"This is for you." kata Romeo sambil menyerahkan sebuah paperbag besar.

Gue bingung buat apa Romeo repot-repot bawa semua ini kesini.

"Apa ini?" tanya gue penasaran

"Beberapa baju ibu hamil, susu, sama makanan dan vitamin." jawab Romeo

"Niat banget kamu beliin aku ini semua."

Dia mengangguk, "Aku tau kakak pasti bakal beli ini semua. Tapi karena kakak males, pasti kakak bakal nyuruh orang." tambah Romeo

Gue langsung tertawa mendengr penuturan Romeo. Dia seperti sudah hafal kebiasaan gue yang pemalas masalah belanja.

"Makasih,"

"Ini diminum dulu ya." gak lama Bunda datang bawa secangkir teh dan beberapa cemilan.

"Makasih tante,"


"Rom— sekali lagi aku mau bilang kalau aku gak bermaksud nyakitin atau ngasih kamu harapan palsu." jelas gue

"Kak santai, aku ngerti. Sejak awal aku gak maksa kakak buat suka balik sama aku. Just let it flow, apalagi keadaan kakak kayak gini sekarang. Aku seneng bisa bantuin kakak, enggak harus kakak balas juga. Kesannya aku pamrih banget." kata Romeo

"Aku suka sama kamu."

Ketika gue bilang begitu kayaknya Romeo terkejut. Dia terus menatap gue tanpa bicara apa-apa.


"Aku suka sama kamu Rom, tapi kamu tau aku belum bisa menjalin hubungan sampai waktu yang gak bisa ditentukan." jelas gue

"Kak, harus berapa kali aku bilang sih? I'm totally fine, kakak gak harus melakukan apa-apa. Mungkin aku keliatan kayak fuck boy, baperin sana-sini, gombal terus. Tapi jujur, aku gak sebecanda itu. Aku cuma pengen liat kakak senyum, aku pengen jadi alasan kakak tersenyum. Aku gak mau memaksakan apapun." balas Romeo

Gue salah nilai Romeo, berpikir kalau dia selama ini berharap gue balas cintanya. Tapi ternyata dia gak kayak gitu. Bahkan disaat dia tau semuanya dia tetap ada.

"Can I hug you for the last time?" tanya gue

Romeo mengangguk dan berpindah duduk disamping gue.

"Rom, thank you so much for everything. Tuhan mempertemukan aku dengan kamu karena suatu alasan. Kamu banyak bantu aku, bahkan ucapan terima kasih gak akan cukup. You deserve to be happy and find your source of happiness."

"Aku akan menjadi salah satu orang terbahagia, ketika kamu menemukan seseorang yang menyayangi dan mengerti kamu kelak. Aku akan datang ke pernikahan kamu, kalau diundang. I'll wait for it."

Mata gue sudah berkaca-kaca, mau ditahan pun susah. Gue buru-buru menghapus air mata gue sebelum Romeo liat.

Saat gue melepaskan pelukannya, ternyata Romeo menangis.

"Kak, kayak mau pergi jauh aja. Maksud kakak hug me for the last time apa?" tanya Romeo disela tangisnya.

Saat gue melihat Roemo menangis, gue gak tega. Tapi demi kebaikan bersama, gue harus pergi dan menjauh dari orang-orang yang pernah hadir dihidup gue.

"Rom, jangan nangis. Aku pasti bakal kembali, saat aku yakin aku udah berubah dan bisa menghadapi kenyataan. Kamu bisa liat, perut aku sekarang keliatan besar. Aku berhasil melawan pemikiran aku untuk menggugurkan bayi ini. Salah satunya berkat kamu—"

"Kasih aku waktu untuk menyendiri. Bukan untuk pergi selamanya dari kamu, tapi aku harus mencari apa yang aku cari. Please jangan ganti nomor, karena kamu akan jadi orang pertama yang aku hubungi saat aku kembali." jelas gue

Romeo berhenti menangis dan ngangguk, tapi dia gak berani natap gue.

"Jaga diri kak, semoga kakak bahagia dan menemukan apa yang kakak cari. Aku janji, kapanpun kakak butuh, I'll be there for you."

"Semoga ditempat baru, kakak dikelilingi orang-orang baik."

"Makasih banyak Rom, you too." balas gue

"Aku pulang ya? See you when I see you kak Jennie."




Dimana ada pertemuan, maka ada perpisahan. Ada saatnya menggenggam, dan kali ini saatnya melepaskan.

***




"Ming, kak Jennie baik-baik aja kan? Dia ada dimana sekarang?"

Mingyu merasa ini sangat lucu. Setelah beberapa bulan berlalu, Bright baru mencari kakaknya? Di dunia mana sebenarnya Bright tinggal? Disaat banyak lelaki berusaha memperebutkan kakaknya, Bright tak pernah muncul.

Hingga kini kakaknya pergi jauh— barulah ia sadar, ia menyia-nyiakan berlian.

"Bukan urusan lo lagi. Dia bukan kak Jennie yang lo kenal, sejak lo menyakiti hatinya dan meragukan anaknya."

Be Right [Jennie X Bright Vachirawit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang