(END)
Dia ada, bersembunyi dibalik celah yang menatap penuh damba pada sosok tampan di depan sana. Tanpa mampu berkata, dia hanya diam bersembunyi di balik rasa suka yang membara.
Dia ingin, namun sadar bahwa dia tidak akan mampu. Namun saat rasa me...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
25.07.2020
Jinan menatap Kaif yang ada di depannya dengan raut wajah bingung. Pasalnya, laki-laki itu tadi terdengar memanggil dirinya dengan panggilan lain, yaitu Samai.
"Kamu masih ingat aku, ya?" Tanya Jinan dengan polosnya.
Tentu saja pertanyaan itu membuat Kaif termangu. Dia sama sekali tidak menyangka jika pertanyaan seperti itu yang akan dia dapatkan dari Jinan, seseorang yang dulu pernah dia kecewakan dengan begitu kejam.
"Mana mungkin aku lupa sama kamu." Cicitnya dengan pikiran masih mengambang.
Jinan meringis malu lalu terkekeh pelan. "Siapa tau? Dulu kita 'kan cuma kenal sebentar." Ucapnya.
Kaif benar-benar tidak habis pikir dengan sikap Jinan saat ini. Bagaimana mungkin dia sudah melupakan seseorang yang sudah membawa pengaruh besar di hidupnya. Baginya pun, tidak mungkin Jinan bisa setenang ini menghadapi seseorang yang menggores luka padanya beberapa tahun yang lalu.
"Jiji!!!" Jerit Kia lalu dengan hati-hati dia memberikan sebuah pelukan untuk Jinan.
"Ki, yang kalem dong. Ini rumah sakit, loh. Jangan asal teriak." Peringatnya.
Kia terkekeh. "Abisnya aku seneng kamu udah bisa pulang." Ungkapnya lalu menoleh ke arah seorang laki-laki yang memakai snelli di sampingnya. "dokter, jadi teman saya ini-" Kia menghentikan ucapannya saat melihat sosok dokter yang menangani Jinan.
"Ki?"
Kia menoleh ke arah Jinan dengan wajah yang masih terkejut.
"Kamu kenapa?" Tanya Jinan.
Kia menggeleng dengan cepat lalu cengengesan tidak karuan. Setelah itu dia kembali menoleh ke arah Kaif.
"Saya cuma kaget, dokter. Saya pikir tadi cowok ganteng dari mana."
Jinan mengernyit sambil mendengus karena rayuan maut Kia yang sama sekali tidak tau tempat dan alamat. Perempuan itu masih setia dengan cengengesannya sementara Kaif hanya diam tidak bergeming. Bahkan wajahnya sama sekali tidak menunjukkan raut yang tersanjung karena ungkapan Kia tadi.
"Kalau begitu, saya permisi dulu." Ucap Kaif lalu keluar dari ruangan Jinan.
Dia menghembuskan napasnya dengan kesal karena pernyataan dari teman Jinan tadi. Rasanya sungguh ingin menegur, tetapi dia tidak mungkin memicingkan mata ke salah satu orang yang sedang menjenguk pasiennya itu.
"Ayah, Bunda udah bisa pulang 'kan?"
Kaif melirik ke arah seorang anak kecil yang sedang berjalan bergandengan tangan dengan ayahnya.
"Iya, ini kita mau jemput Bunda." Jawabnya membuat sang anak bersorak girang.
Kaif memandangi laki-laki itu dengan lekat seolah pernah melihat wajah itu sebelumnya. Lalu saat ayah dan anak itu melewatinya, dia berbalik badan untuk melihat arah tujuan kedua orang tersebut. Setelah matanya menangkap sepasang ayah dan anak itu masuk ke dalam ruangan Jinan, tanpa sadar dia membuka mulutnya.