(END)
Dia ada, bersembunyi dibalik celah yang menatap penuh damba pada sosok tampan di depan sana. Tanpa mampu berkata, dia hanya diam bersembunyi di balik rasa suka yang membara.
Dia ingin, namun sadar bahwa dia tidak akan mampu. Namun saat rasa me...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
10.07.2020
Gadis itu mengamati dalam diam ketika sepasang sejoli yang jauh di depannya sedang berselisih. Dia menatap penuh ke arah sana seolah tidak ingin ada adegan yang terlewatkan. Namun, sampai akhir perselisihan itu, dia hanya mendapatkan pemandangan dimana si perempuan pergi meninggalkan si lelaki yang menyugar rambutnya dengan kesal.
Si gadis ingin bersyukur melihat ketidakharmonisan pasangan tersebut. Namun dia merasa jahat apabila benar-benar mensyukuri kepedihan orang lain, karena orangtuanya selalu mengatakan jika kesedihan orang lain bukanlah ajang untuk membuatnya bahagia. Karena posisi itu bisa saja berubah dan menimpa diri kita sendiri suatu saat nanti.
"Maaf, aku sempat merasa bahagia untuk kesedihan kalian, walaupun pada akhirnya aku tidak jadi mensyukuri itu semua." Lirih gadis tersebut lalu berlalu pergi ke depan gerbang sekolah.
Di sana, ternyata si gadis masih melihat adegan serupa dengan laki-laki yang berbeda. Entah apa pembicaraan mereka, yang pasti itu sama sedihnya dengan yang sempat dilihatnya tadi.
Melihat itu semua, si gadis menjadi memikirkan sesuatu. Sesuatu yang memang sudah seharusnya dialami oleh mereka yang berada dalam proses pendewasaan.
"Aku mulai takut. Kehidupan semakin mendorongku untuk dewasa, sementara aku masih nyaman menjadi gadis kecil ayah dan ibu."
Cklek.
Jinan kembali menutup buku harian merah jambu bergembok itu.
"Aku rasa... Lulus SMA, buku ini bisa merangkai satu novel." Kekehnya sambil menyimpan buku itu ke dalam laci.
Jinan mendengus mendengar teriakan Iman dari balik ruang makan.
"Bang Iman dan hobinya emang nggak bakalan sembuh, deh." Gerutunya sambil menuju ke arah ruang makan.
***
Malam harinya, mereka berkumpul di ruang televisi untuk sekedar bercengkrama bersama. Ibu dan ayahnya dengan pembahasan mereka, Iyaz dengan gambarannya, Iman dengan ponsel pintarnya serta Jinan yang menatap sebal pada seluruh keluarganya.
"Iyaz, gambarnya nanti dong." Rengek Jinan pada adiknya. "Bang Iman juga main game nya kan bisa nanti." Lanjutnya ke arah Iman.
Namun sepertinya dia hanyalah angin lalu yang tidak mendapat gubrisan dari saudara-saudaranya. "Terus ngapain di sini kalo masing-masing cuma sibuk sendiri." Kesal Jinan lalu beranjak dari tempat duduknya.