BAGIAN 30 - MEREDA

22.5K 2K 146
                                    

⚠️ Nah, balik lagi. Aku update cepet wkwkwk. Kemarin banyak yang nodong aku buat update double, triple. Ya tadinya aku juga maunya gitu. Tapi, balik lagi. Ide lagi buntu. Ini aja harus bolak-balik kamar mandi biar dapat ide. Update triple tuh gimana? Itu nyuruh update apa nyuruh aku minum obat resepnya Pak Jefri sampai tiga kali sehari wkwkw.

Kalian nodong aku update. Sekarang gantian aku yang nodong kalian tulis di kolom komen wkwk aku mau nodong kalian komen sama vote. Kalo kalian suka sampai part ini. Ya? Nggak maksa tapi harus wkwk canda deng wkwk kalo kalian suka sama cerita ini sok atuh apresiasinya untuk saya wkwk. Aku lagi mood banget kalo balesin komen kalian wkwk biasanya habis bales komen satu-satu aku langsung nyicil ngetik selanjutnya. Emang sih baru tau se-ngaruh itu. Komen, vote, sama apresiasi dari kalian buat semangat nulis. Ya Gusti, udah-udah banyak bacot banget baru intro juga wwkwk

Happy Reading!

🌸🌸🌸

"Amira?" gumamku pelan. Aku mengerutkan dahiku saat Pak Jefri menyebut nama itu berkali-kali. Ia masih menenggelamkan kepalaku di dada bidangnya. Lama, sampai deru napasnya terdengar di telingaku.

Perlahan Pak Jefri menguraikan pelukannya. Ia lantas menatapku nanar. Sedetik, dua detik, tiga detik, mataku saling beradu pandang dengan Pak Jefri, "Kamu?" ia sontak menyentil dahiku saat menyadari bahwa yang di depannya adalah aku.

"Aakkhh.... Sakit!" Aku sedikit meringis seraya mengusap-usap dahiku. Badak! Punya tangan nggak bisa dijaga. Main sentil kepala orang aja.

Aku lantas memberi balasan pukulan di lengan kirinya, "Aakhh.... Jangan macem-macem, saya lagi nyetir!" ujarnya seraya menatap tajam ke arahku.

"BODO AMAT!" Aku mengalihkan pandanganku ke arah kaca jendela seraya menyilangkan kedua tanganku di dada. Sedangkan tangan Pak Jefri kembali menyalakan mesin mobil. Hening lagi. Tidak ada pembicaraan. Pikiranku masih berkecamuk dan dipenuhi ribuan pertanyaan. Tapi aku tidak berani mengatakan semuanya sekarang.

Aku lantas sedikit mengatur napasku. Kemudian menoleh ke arah Pak Jefri lagi yang masih fokus menyetir, "Pak Jefri tadi manggil saya—"

Aku menjeda kalimatku mengingat nama yang barusan ia sebut, "—Amira si-siapa, Pak?" ucapku memberanikan diri untuk bertanya. Ia masih fokus menatap kendaraan yang berlalu lalang di depan. Bungkam. Dan masih mengunci rapat-rapat mulutnya.

Aku menghela napas lagi ketika Pak Jefri masih tak bergeming, "Pak, Amira siapa?" tanyaku lagi memperjelas.

Ia lantas melirikku sekilas dan kemudian kembali fokus menyetir lagi, "Sepupu," jawabnya singkat.

Aku menyahut ucapannya langsung, "Nggak mungkin. Dari ekspresi Bapak, beda banget pas saya tanya tentang Dokter Aline dan Amira ini barusan. Waktu saya tanya mengenai Dokter Aline, Bapak santai-santai aja. Tapi ini—"

Aku menatap Pak Jefri yang masih fokus menyetir dengan tatapan harap. Berharap, Pak Jefri bisa menjawabnya sekarang, "—Dia mantan Bapak kan?"

Ia menghela napas panjang dan menatapku sekilas, "Bukan. Kamu jangan mulai sok tau. Saya nggak mau ribut sama kamu hari ini." ucapnya pelan tanpa menolehku.

"Ya, mana ada sepupu—"

Pak Jefri langsung memotong kalimatku seolah-olah memberikan isyarat kalo aku tidak perlu membahas hal yang baru saja terjadi, "Fokus tugas akhir kamu, jangan pikirin tentang saya." jelasnya lagi.

Aku menoleh ke arahnya, "Tapi saya pengen tau. Kenapa Bapak marah-marah tadi. Terus bentak-bentak saya. Nggak jelas banget,  terus main pergi aja motong pembicaraan Dokter Aline pas pembahasan tentang mantan—"

Thalassophobia [Re - Publish)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang