BAGIAN 31 - PELUKAN HAMBAR

24.7K 2K 130
                                    

⚠️ Aku balik lagi buat nemenin malam Jumat kalian wkwkwk. Nggak mau banyak bacot disini soalnya update kali ini udah 2000kata lebih. Panjang bet ye kan wkwkwk maraton gw nulisnya wkwkw.

Makasih udah follow, udah vote, terus komen. Jangan bosen-bosen buat komen. Makin banyak komen di bawah makin banyak semangat untuk update wkwkw. Gunakan jari untuk berkomentar yang baik ya?

Happy Reading!

🌸🌸🌸

Meskipun sudah terlewati beberapa Minggu yang lalu, tapi tetap saja pikiranku masih berkecamuk dan dipenuhi ribuan pertanyaan mengenai Amira. Perempuan yang Pak Jefri pernah sebut. Tapi mulutku seakan-akan terkunci saat aku ingin menanyakan hal itu.

Tangan kananku sedikit meremas perutku yang melilit dan terasa perih. Sedangkan tangan kiriku memegang lengan Pak Jefri yang sedang menyetir. Bukan. Bukan nyeri datang bulan lagi. Tapi asam lambungku kambuh. Dan Pak Jefri memaksaku untuk ke rumah sakit. Padahal aku jelas-jelas menolak. Karena memang aku lebih sering istirahat di rumah dari pada harus dikit-dikit ke rumah sakit ketika aku sakit.

"Cepetan, nyetirnya! Perut saya sakit." Aku sedikit meringis seraya masing memegang perutku yang terasa perih. Tahu kan rasanya ketika asam lambung naik secara tiba-tiba dan tidak diundang?

"Keras kepala! Salah kamu sendiri, saya bilang juga apa?" ujarnya memarahiku. Ia sedikit mengemudikan mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata. Sampai perutku rasanya— tidak tahu lagi, aku bingung menjelaskannya.

"Bapak, kok malah marahin saya?"

"Kamu dibilangin nggak bisa nurut. Lima porsi mie instan cabe bubuk kenapa kamu makan sekaligus? Dibilangin mie instan nggak boleh dimakan dalam jangka waktu dekat. Kamu kenapa makan langsung lima porsi?"

"Saya keburu laper,"

"Banyak makanan kenapa mie instan—"

Aku sontak memotong kalimatnya yang belum selesai ia ucapkan, "Capek, Bapak marahin saya mulu." ucapku seraya mengerucutkan bibirku.

Aku mengalihkan pandanganku ke jendela mobil saat mobil Pak Jefri masuk ke area parkir khusus dokter di salah satu rumah sakit terdekat dari rumah.

"Ayo turun!" titahnya sebelum ia turun dari mobil. Aku masih tak menyahut. Sampai Pak Jefri membukakan pintu mobil di sampingku.

"Masih mau disitu terus?" tanyanya yang sudah berdiri di ambang pintu mobil saat melihatku tak kunjung beranjak. Ia perlahan menarik tanganku pelan dan memapahku turun dari mobil.

Sebenarnya, tadi malam aku sudah minum antasida yang biasanya aku minum ketika asam lambung naik. Tapi pagi tadi, perutku tak kunjung membaik juga.

Aku mengerutkan dahiku saat Pak Jefri membawaku ke poli penyakit dalam, "Kok kesini sih, Pak? Ke poli umum aja,"

"Nggak usah bantah! Ayo cepetan. Saya udah daftarin nama kamu tadi di poli penyakit dalam,"

"Nggak mau, saya mau di poli umum aja."

"Sama aja,"

"BEDA!" ucapku sedikit kencang.

"Akhhh .... sakit!" Gara-gara teriak di depan Pak Jefri perutku lagi.

Ia mendengus kesal sembari menyentil dahiku, "Kalo nanti Dokternya bilang kamu harus rawat inap. Kamu harus nurut, Jangan bantah terus kayak gini!"

"Nggak, Saya mau rawat jalan aja. Saya udah daftar sidang Pak. Minggu depan saya sidang. Bapak sendiri yang nyuruh saya cepet-cepet. Saya udah mati-matian ngejar sidang bulan ini. Sa-saya nggak mau masalah ginian jadi penghambat."

Thalassophobia [Re - Publish)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang