Diran.
Langit di kota gue kini masih berwarna gelap, langit di kota gue kini sudah berganti penghuni, dari yang tadinya matahari berubah menjadi bulan. Bulan di atas gue nggak sepenuhnya menampakkan diri, dia hanya menampakkan diri setengahnya saja. Di sekelilingnya, bintang-bintang bersinar kelap-kelip dengan berbagai warna yang terlihat begitu indah dan menggoda untuk di tatap semalam suntuk.
Gue duduk di balkon apartemen gue dengan sebuah gitar yang sejak tadi gue taruh di kursi sebelah yang ada di samping gue. Gue berniat untuk bernyanyi tadi, tapi sampai di balkon gue malah lebih memilih untuk menengadah melihat deretan bintang dan bulan di atas sana.
Senyum gue terukir, saat bintang demi bintang menyala gemerlap di tengah gelapnya kota.
Malam ini dingin, namun beruntung salju nggak turun malam ini. Gue pun nggak lupa memakai jaket berlapis yang membuat tubuh gue tetap hangat. Malam ini kebetulan gue nggak sendirian, karena ada Aruna yang tadi sempat mampir ke apartemen gue lebih dulu setelah kerjaannya berakhir.
Gue dan Aruna memang banyak menghabiskan waktu bersama selama di London. Mungkin karena gue dan dia hanya memiliki satu sama lain, tentu saja dia punya teman begitupun gue. Namun entah kenapa gue begitu nyaman untuk berbagi banyak hal kepada Aruna, termasuk hal-hal yang nggak bisa gue bagi dengan teman gue yang lain. Aruna membuat gue nyaman untuk bercerita banyak tanpa takut disalahkan, meskipun ada kalanya dia pasti jenuh dengan apa yang gue ceritakan.
Aruna menarik handel pintu balkon gue lantas keluar dengan selimut yang membungkus tubuh mungilnya. Gue tertawa melihat tingkahnya yang seringkali menunjukkan usia aslinya yang memang masih muda dan ceria. Gue mengangkat gitar yang ada di samping gue membiarkan kursi ditempati oleh Aruna.
"Mas Diran, ngapain sih di balkon, udah tau dingin begini." Katanya dengan nada protes.
"Bintangnya bagus."
"Mas Diran kenapa suka sama bintang?"
"Suka aja."
"Harus ada alasannya."
"Hg, cantik?" gue mengangkat sebelah alis hanya untuk mendapat sebuah pukulan di lengan kanan gue. "Lo nggak suka bintang?"
"Nggak."
"Iya sih, lo kan lebih suka bulan ketimbang bintang."
"Iya, bulan lebih indah."
"Tapi bukan berarti bintang nggak indah, Runa."
"Iya, bintang juga indah, tapi bintang mainnya keroyokan, Mas."
"Keroyokan gimana?"
"Bintang hanya indah ketika datangnya bersamaan, dan nggak ada apa-apanya kalo hanya satu bintang saja." ucapnya, gue berpikir sebentar. Yang dikatakan Aruna memang nggak salah, karena jika hanya satu bintang yang muncul di langit malampun gue rasanya nggak akan begitu antusias seperti malam ini. Namun gue tetap menyukai bagaimana bintang membuat langit malam menjadi ramai dan penuh dengan gemerlap cahayanya. "Bulan, meskipun hanya satu tetap indah, Mas. Dan gue selalu ingin jadi bulan yang ada di hidup seseorang. Hanya satu dan nggak bisa digantikan."
KAMU SEDANG MEMBACA
TENTANG SEPASANG
General Fiction(SELESAI) "Lo itu rumah gue, mau gimanapun keadaannya, gue akan kembali ke lo dan seperti janji yang kita buat, jangan sampai ada kata putus diantara kita." Tadinya gue berpikir begitu, tentang hubungan gue dan Mirah, tapi sepertinya nggak akan semu...