Aruna.
Mata gue bertemu pandang dengan matanya. Mata seorang laki-laki yang selalu mampu bikin gue jatuh cinta lagi dan lagi padanya. Mata yang sudah lama nggak gue pandang karena jarak yang memisahkan.
Detak jantung gue berdetak dua kali lebih cepat dari biasanya. Gue nggak tau pertemuan gue dan dia akan terjadi secepat ini. Empat bulan gue nggak bertemu dengannya, empat bulan juga gue memutuskan untuk menghentikan semua kontak dengan dia. Bukan karena perasaan gue padanya sudah habis atau pupus, bukan karena itu, tapi karena gue takut jika terus berhubungan dengannya, rindu di dalam dada gue justru semakin besar dan kian hebat.
Bibir gue kaku, lidah gue kelu. Gue nggak pernah menduga jika akhirnya namanya akan kembali gue sebut di sini, di hadapannya langsung.
Lalu, sebelum bibir gue sanggup mengucap namanya, dia lebih dulu memanggil nama gue dengan suara lembut miliknya. Gue tau, dia sama terkejutnya dengan gue sekarang. Setelah empat bulan lamanya, gue pun mendengar suaranya lagi memanggil nama gue.
"Aruna."
Sungguh, jauh di dalam hati gue, gue selalu berpikir jika hanya dia yang paling indah saat menyebut nama gue dengan bibir penuhnya. Gue menelan saliva getir, tubuh gue nyaris bergetar hebat jika gue nggak mengendalikannya sekuat tenaga. Gue nggak boleh terlihat kacau sekarang.
Kacau?
Tentu saja, gue tau dia bukan seseorang yang harusnya gue rindukan lagi seperti dulu. Dia sudah jadi milik orang lain dan bukankah itu sebuah rambu-rambu yang jelas untuk gue kedepannya? Gue nggak berhak lagi untuk berdekatan dengannya, karena gue juga cukup tau diri.
Tapi sayangnya, bibir gue kadung lancang memanggil namanya dengan susah payah.
"Mas Diran.."
Dia berjalan mendekat lantas sebelum gue berhasil paham apa yang tengah terjadi, tubuh gue sudah berada dalam kungkungannya. Dalam sepersekian detik, gue pun merasakan dua tangannya melingkar di punggung gue. Tangan yang sejak dulu mampu bikin gue nyaman dan merasa aman setiap kali bersamanya. Tangan yang pertama kali mengulurkan bantuan setiap gue membutuhkannya.
Gue belum sepenuhnya sadar ketika gue merasakan sebuah kecupan manis di puncak kepala gue. Gue mengerjapkan mata beberapa kali, meyakinkan diri gue jika ini bukanlah sekedar mimpi belaka dan gue sedang nggak berimajinasi. Mas Diran, satu-satunya lelaki yang mengisi kekosongan hati gue, kini tengah memeluk dan mencium puncak kepala gue dengan penuh kerinduan.
Gue, menarik napas dalam-dalam, kedua tangan gue masih lunglai jatuh di sisi jahitan pakaian yang gue pakai, gue nggak bisa membalas pelukannya. Bukan karena gue nggak ingin, tapi karena mengangkat tangan saja gue nggak bisa sekarang. Gue terlalu lemas dan otak gue nggak bisa merespon apapun dalam sebuah gerakan. Gue hanya menyandarkan kepala gue seutuhnya di dadanya yang bidang, sebuah pelukan yang benar-benar gue rindukan.
KAMU SEDANG MEMBACA
TENTANG SEPASANG
General Fiction(SELESAI) "Lo itu rumah gue, mau gimanapun keadaannya, gue akan kembali ke lo dan seperti janji yang kita buat, jangan sampai ada kata putus diantara kita." Tadinya gue berpikir begitu, tentang hubungan gue dan Mirah, tapi sepertinya nggak akan semu...