Juna.
Gue melambaikan tangan pada seorang perempuan yang kini tengah berjalan dengan senyum lebar ke arah gue. Rambut panjangnya yang berwarna hitam legam dia biarkan terurai jatuh bebas di punggungnya, kacamata hitam bertengger di batang hidungnya. Bahkan hanya dengan kaos santai dan celana jins mampu membuat penampilannya mencolok diantara ribuan pengunjung yang ada di bandara.
Dia berhenti persis di depan gue kemudian memiringkan kepalanya seraya tersenyum lebar.
"Hei." Sapanya, gue pun menarik seulas senyum.
"Hei, Ris."
"Lo kelihatan capek banget atau emang lo nggak seneng ketemu gue lagi?" tanyanya. Gue terkekeh, tangan gue meraih koper yang dia pegang lantas berjalan mendahuluinya. Gue belum bisa bicara banyak pada Iris setelah apa yang terjadi dengan hubungan gue dan Mirah beberapa waktu lalu.
Iris berjalan mengikuti gue tanpa protes, gue bersyukur untuk itu, karena dia nggak menanyakan lebih jauh lagi. Gue tau, muka gue memang nggak semenyenangkan itu untuk dilihat sekarang. Alasannya jelas, gue memilih menyibukkan diri setelah benar-benar meyakinkan diri bahwa gue dan Mirah putus. Gue butuh sesuatu untuk mengalihkan perhatian gue selama beberapa waktu ke depan. Salah satunya ya gue harus sibuk, banyak beekrja dan banyak ketemu sama orang, biar gue nggak bisa memikirkan Mirah barang satu detik pun. Biar nggak ada waktu serta celah bagi Mirah ada di otak gue.
Namun sudah beberapa hari ini gue mencoba ternyata susah juga melakukannya. Maksud gue, nggak semudah itu untuk menghilangkan sesuatu yang pernah lekat dan dekat dengan gue.
Kehadiran Mirah hampir sembilan puluh persen memunhi kehidupan gue sebelumnya, dan sekarang dia nggak ada di samping gue. Dia memilih pergi dan gue nggak menahannya untuk tetap tinggal.
Gue meyakinkan diri ini yang terbaik untuk kami berdua, karena gue merasa ada sesuatu yang kosong diantara kami. Mungkin gue dan Mirah perlu ruang tersendiri. Mungkin gue dan dia sama-sama butuh untuk berjalan sesuai kehendak masing-masing tanpa perlu menunggu satu sama lain, juga tanpa berharap satu jalan lagi.
Gue nggak tau apa yang akan terjadi selanjutnya dalam hidup gue, apa berpisah dengan Mirah akan menjadi sesuatu yang mendewasakan gue atau malah sebaliknya. Gue hanya berharap, gue nggak menyesal dengan keputusan yang sudah gue ambil ini.
Iris belum tau, karena gue memang belum mengatakan apapun padanya.
Gue menarik napas pendek.
Jangankan Iris, keluarga gue aja belum tau soal ini. Jelas gue akan bicara pada mereka, tapi gue menunggu waktu yang tepat. Gue nggak bisa seenaknya bicara, ketika keluarga gue dan keluarga Mirah sama-sama sudah tau hubungan kami yang berjalan tujuh tahun lamanya.
Sebenarnya membawa hubungan pacaran ke ranah keluarga memang bukan hal yang gue sukai. Bukannya apa-apa, gue hanya takut iika kami berpisah di tengah jalan dan akan sulit memberikan penjelasan pada orangtua yang mungkin sudah kadung belajar menerika dan cocok. Dan sekarang, ketakutan gue terjadi. Gue berpisah dengan Mirah setelah tujuh tahun lamanya pacaran.
KAMU SEDANG MEMBACA
TENTANG SEPASANG
Fiksi Umum(SELESAI) "Lo itu rumah gue, mau gimanapun keadaannya, gue akan kembali ke lo dan seperti janji yang kita buat, jangan sampai ada kata putus diantara kita." Tadinya gue berpikir begitu, tentang hubungan gue dan Mirah, tapi sepertinya nggak akan semu...