Mirah.
Gue memandang pantulan diri gue di cermin kamar mandi, di wajah gue masih tersisa titik-titik air, rambut bagian depan gue basah terkena air habis cuci muka sepuluh menit yang lalu. Tangan gue terangkat, jemari gue menyeka sudut bibir gue dimana di sana ada sisa pasta gigi yang masih menempel.
Gue menelan saliva lalu menarik napas panjang.
Hembusan napas gue menggema di kamar mandi.
Kali ini gue merasa hembusan napas yang gue keluarkan bukan semata-mata karena rasa frustasi dan keputusasaan, gue malah merasa ada kelegaan di dalam dada gue sekarang. Gue menyibakkan rambut ke belakang, membiarkannya jatuh ke atas punggung gue. Mata gue masih fokus pada pantulan diri di cermin, yang menampakkan gambraan diri gue di pagi hari dengan wajah polos tanpa menggunakan make up. Rambut yang berantakan dan hanya gue sisir dengan jari, juga pakaian yang jelas kebesaran. Gue menatap pakaian yang gue pakai, hoodie berwarna biru pekat yang jelas bukan punya gue.
Hoodie punya Juna yang dia pinjamkan ke gue semalam.
Kejadian semalam kembali teringat di kepala gue, mulai dari gue datang ke apartemen Juna, apa yang gue katakan ke dia, apa yang kami lakukan di tengah derasnya hujan, juga pelukan hangatnya semalam suntuk.
Gue ingat semuanya.
Gue mengerti, nggak seharusnya gue begini. Mungkin, seharusnya kami berdua nggak begini, setelah memilih untuk saling diam dan meninggalkan sebelumnya. Mungkin, seharusnya gue dan dia hidup masing-masing tanpa pernah kenal lagi. Mungkin, seharusnya gue dan Juna nggak memutuskan untuk kembali bersama seperti dulu lagi.
Mungkin.
Seharusnya.
Sayangnya, perasaan gue malah mengatakan sebaliknya.
Gue butuh Juna untuk ada di samping gue.
Gue mau dia untuk ada di setiap perjalanan gue, baik itu dulu, sekarang, juga di masa depan.
Gue tau, ini terkesan berlebihan dan bohoh, karena menerimanya kembali bahkan ketika dia dengan jelas bermain hati di depan gue waktu itu. Tapi bukankan setiap orang melakukan kesalahan?
Gue paham, setiap kesalahan juga punya batas toleransinya masing-masing. Gue pun begitu, gue merasa masih bisa mentolerir apa yang Juna lakukan di masa lalu, karena itu nggak sepenuhnya salah dia.
Empat bulan berpisah dengannya, gue paham, bahwa apa yang terjadi antara gue dan Juna, nggak bisa dipukul rata menjadi tanggung jawabnya saja. Namun gue juga ikut andil di dalamnya. Gue tau Juna. Dia bukan tipe laki-laki yang akan melakukan sesuatu tanpa alasan, yang dia lakukan memang salah. Gue pun nggak akan membenarkan apa yang dia lakukan sebelumnya, namun kali ini gue mencoba untuk memberinya kesempatan kedua.
Bukankah setiap orang berhak mendapatkan kesempatan yang sama, setelah sadar dan ingin menjadi seseorang yang lebih baik? Gue bukan Tuhan dan gue nggak bisa menyalahkan Juna dalam kesalahan yang dia buat kemarin seutuhnya, dia salah gue pun salah. Hubungan yang kami jalani sejak awal disepakati oleh dua orang, kami menjalaninya juga dua orang, maka setiap kesalahan ataupun pertengkaran yang terjadi juga harus ditanggung oleh kami berdua. Bersama-sama.
KAMU SEDANG MEMBACA
TENTANG SEPASANG
General Fiction(SELESAI) "Lo itu rumah gue, mau gimanapun keadaannya, gue akan kembali ke lo dan seperti janji yang kita buat, jangan sampai ada kata putus diantara kita." Tadinya gue berpikir begitu, tentang hubungan gue dan Mirah, tapi sepertinya nggak akan semu...