Juna.
Gue memandang layar hape gue yang tetap hitam dan nggak berkedip menampilkan notifikasi apapun. Sudah lima menit gue memandangnya, sekalipun nggak ada notifikasi berupa pesan atau telfon yang masuk. Gue menarik napas panjang. Mata gue melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan gue, jarum jam menunjukkan pukul enam sore. Biasanya jam segini Mirah bakal ngasih kabar ke gue, entah itu chat lewat whatsapp atau telfon sebentar. Biasanya dia akan bilang bagaimana harinya berjalan, baik atau nggak, lalu gue akan menanggapi dengan bilang nggak apa-apa, dia udah kerja keras hari ini.
Tapi sekarang, pesan itu nggak ada.
Pesan terakhir gue dengan Mirah adalah tahun lalu, saat kita masih di Bali.
Ini awal tahun 2018, dan akhir tahun 2017 gue berdebat dengan Mirah karena keegoisan masing-masing. Dia yang nggak bisa meninggalkan kerjaannya padahal udah janji sama gue, dan gue yang mau dia tetap ada di samping gue padahal gue tau dia punya kesibukan.
Hal tersebut yang bikin kita ribut dalam diam, mengabaikan satu sama lain.
Lantas semuanya berakhir dengan perpisahan.
Iya, gue paham, ini nggak hanya sekedar karena keegoisan semata, gue ikut andil besar dalam masalah yang terjadi, dimana gue malah mencari seseorang yang bisa membuat gue nyaman ketika Mirah nggak ada di samping gue.
Lalu, entah darimana, Iris muncul persis di hadapan gue dengan segala pesonanya yang mampu menarik hati gue. Awalnya gue pikir, hubungan geu dan Iris hanya sebatas teman semalam, tapi malah kami jatuh lebih dalam dari yang diperkirakan. Baik gue maupun Iris sama-sama nggak bisa melepaskan satu sama lain.
Dan gue, memilih melepaskan Mirah yang sudah bersama gue tujuh tahun lamanya.
Hembusan napas gue lolos begitu saja, gue menyibakkan rambut ke belakang frustasi.
"Tok..tok.." seseorang mengetuk meja yang ada di depan gue, lantas duduk di seberang gue dengan satu cangkir kopi di tangannya. Senyumnya yang lebar langsung terkembang di sudut bibirnya. "Ngapain, Bos, mukanya ditekuk begitu?"
"Capek aja."
"Hati lo yang capek maksudnya?" dia bertanya dengan terkekeh. Gue mencibir. Namnya Aksa. Namanya Lesmana Aksa Aswangga.
Aksa adalah adik tingkat gue jaman kuliah. Gue dan dia dipertemukan karena sama-sama suka fotografi dan kebetulan waktu itu studio butuh satu orang lagi untuk jadi fotografer dan gue teringat sama Aksa, makanya gue nawarin dia kerja di sini. Dan dia mau, dia juga punya keahlian lain seperti menggunakan aplikasi edit foro dan video. Aksa juga cukup handal dalam menggunakan aplikasi design, jadi gue bersyukur ada dia di J'studio.
"Lagi nggak niat bercanda gue, Sa."
"Yang ngajakin lo bercanda juga siapa, Jun? kan gue tanya doang." Aksa berujar lagi, dia menyeruput kopi di cangkirnya. Gue tau dia tengah mengamati gue yang hanya menunduk memandang hape sambil mengetuk-ngetuk meja kayu panjang dihadapan kami berdua. "Kangen sama Mirah, kan, lo? Lagi marahan? Telfon geh."
KAMU SEDANG MEMBACA
TENTANG SEPASANG
General Fiction(SELESAI) "Lo itu rumah gue, mau gimanapun keadaannya, gue akan kembali ke lo dan seperti janji yang kita buat, jangan sampai ada kata putus diantara kita." Tadinya gue berpikir begitu, tentang hubungan gue dan Mirah, tapi sepertinya nggak akan semu...