28 - Tentang Sebuah Ungkapan

148 26 6
                                    

Juna

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Juna.

Hari-hari gue setelah Mirah kembali ke hidup gue, rasanya semuanya terasa normal dan terasa nggak asing lagi untuk gue. Walaupun sebenarnya gue nggak pernah menganggap bahwa Mirah sepenuhnya pergi dari gue, karena dia selalu ada di sini, di dalam hati gue. Mau bagaimanapun keadaannya, ataupun bagaimana hidup gue berjalan, dia akan tetap ada di sisi terdalam dan paling tersembunyi di hati gue.

Bagi gue, Mirah nggak hanya sekedar manusia yang hadir dan menampakkan tubuhnya di samping gue. Tapi lebih dari itu, dia sudah seperti ruh bagi gue. Nggak ada dia, rasanya gue seperti matai.

Gue tau ini terdengar sangat berlebihan, bahkan akan terdengar sangat murahan, jaman sekarang siapa yang masih jual kata-kata ketimbang tindakan. Gue pun paham, gue pernah membuat kesalahan fatal terhadapnya, maka bicara soal kata dan janji seharusnya sama sekali nggak cocok untuk gue.

Gue tengah berdiri di set yang ada di studio gue, sepertihari-hari biasanya gue akan memegang kamera dan mengarahkan model yang ada di depan geu untuk bergaya dan bersiap untuk gue abadikan setiap momennya. Di studio gue nggak hanya menerima pemoteratan majalah ataupun model-model untuk kegiatan tertentu, tapi juga semacam foto ijazah anak sekolahan sampai kuliah, juga pemotertan untuk prewedding dan lainnya. Kebetulan hari ini gue dan Ale baru saja menyelesaikan untuk foto keluarga dari kakaknya Ale. Mas Nala dan Mba Lira, juga kedua anak kembar mereka.

Lucu banget, namanya gue lupa.

Eh, gue tanya dulu sama Ale deh ya.

"Le, tadi anaknya Mas Nala tuh siapa namanya? Lucu banget soalnya." Tanya gue padanya. Dia kemudian meletakkan kameranya, menjawab dengan santai.

"Yang cowok namanya Nandana, yang cewek Kirana."

"Oh, lucu banget mereka, jadi gemes gue."

"Emang gemesin banget, gilak sih, gue kalo ketemu bawaannya capek gue ilang aja gitu."

"Padahal lo bukan bapaknya."

"Makanya. Aneh ya, mereka bisa jadi seberharga itu dan semenyenangkan itu di mata gue." katanya sambil mengulum senyum tipis. Ale mendekat sambil masih mengutak-atik kamera yang ada di tangannya.

"Gue juga ngerasa sekarang hubungan lo dan Mas Nala jadi jauh lebih baik dari sebelumnya." Kata gue dengan hati-hati. Karena setau gue, Ale nggak terlalu suka jika hubungannya dengan anggota keluarganya yang lain dibahas.

Ale diam sebentar kemudian dia menarik sebuah senyum simpul, kali ini senyumnya lebih terlihat jelas dari sebelumnya membuat kening gue berkerut. "Semua yang ada di dunia ini berubah, Jun. Orang, musim, teknologi, lingkungan, semuanya, termasuk juga perasaan dan hubungan. Begitupun dengan gue dan Mas Nala, dulu gue memang sangat jaga jarak dengannya apalagi kalo mengingat dulu Ibu lebih sayang Mas Nala ketimbang gue. Meskipun ya itu hanya perasaan gue belaka, karena nyatanya yang namanya orangtua nggak pernah pilih kasih terhadap anak-anaknya. Mereka sayang semua anaknya dengan porsi yang sama, paling nggak itu yang terjadi dalam keluarga gue. Gue nggak tau dengan keluarga yang lainnya, termasuk keluarga lo." Ale menatap gue sembari menghela napas pendek memberikan jeda pada bicaranya.

TENTANG SEPASANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang