16 - Tentang Nostalgia

192 32 11
                                    

Nares.

Semuanya terjadi begitu cepat hingga rasanya mau mengumpat saja gue nggak sempat. Seenggaknya itu yang gue rasakan saat Iris memutuskan untuk melanjutkan hubungannya dengan Juna. Keduanya memutuskan bersama dan saling menjalin kasih, gue nggak bisa melakukan apapun selain menerima keputusan Iris. Karena bagi gue kebahagian Iris yang utama, dan gue akan menjadi seseorang yang siap untuk meenrima keluh kesahnya. Seperti biasa, sama seperti dulu saat gue mengenalnya dan rasa gue berubah menjadi rasa cinta. Gue nggak akan berubah dan tetap ada untuknya, meskipun gue tau bukan gue yang diinginkan oleh Iris.

Iris tengah terbaring di kasur apartemen gue, dia semalam pulang dalam keadaan mabuk. Sepertinya dia lagi ada masalah sama Juna, untuk yang kesekian kalinya. Gue udah bilang sama dia, kalo memang dia capek dia bisa berhenti untuk bertahan. Tapi dia nggak mau, dia masih mau berjuang walaupun nggak tau bagaimana akhirnya nanti. Gue menghembuskan napas panjang.

Gue memandangi wajah Iris yang sepucat salju, bibirnya masih memperlihatkan lipstik merah yang dia pakai, dia bahkan nggak sempat menghapus make upnya. Gue merapikan rambut yang menutupi sebagian wajah cantiknya. Gue menggerakkan jari gue hati-hati takut dia bangun. Gue menggunakan kesempatan ini untuk menatap wajah Iris lekat-lekat. Pagi ini gue memulai hari dengan melihat wajah Iris dan bebas memandangnya sepuas yang gue mau.

Sepuluh menit yang terasa lama namun di sisi lain juga terasa begitu singkat. Sepuluh menit yang gue pakai untuk mengingat setiap detail bentuk wajah Iris, seorang perempuan yang selama ini sudah mengambil hati gue dan sepertinya akan sulit untuk mendapatkannya kembali. Gue sudah menjatuhkan serta menyerahkan hati gue secara sukarela padanya. Jika ditanya, apa gue menyesal menjatuhkan hati pada perempuan yang jelas-jelas mengharapkan orang lain ketimbang gue, gue nggak akan pernah menjawab bahwa gue menyesal. Karena gue mencintai Iris dengan tulus.

Gue memang mengeluh, ada kalanya gue capek dan mau nyerah tapi gue nggak menyesal.

Jika gue dikasih kesempatan untuk hidup lagi menjadi seorang Kalya Nareswara di kehidupan selanjutnya, maka gue tetap ingin mencintai seorang Iris Pradnyana, bagaimanapun nantinya kami akan berakhir. Gue nggak peduli. Yang gue inginkan hanyalah, gue hidup dimana ada di dia didunia itu.

Sekalipun, gue nggak pernah merasa menyesal mencintai seorang Iris Pradnyana.

Jawaban itu akan selalu sama, kemarin, hari ini, besok atau bahkan hari-hari yang akan datang.

Pelan gue mengangkat jari gue untuk berpindah dari rambut ke pipinya yang selalu membuat gue gemas untuk mencubit setiap kali dia merengek hanya karena hal sepele. Gue menyukai bagaimana Iris selalu nyaman untuk merengek dan mencak-mencak di depan gue. Menjadi dirinya yang seutuhnya saat bersama gue, itu sudah lebih dari cukup membuat gue senang. Beberapa anak rambut jatuh bebas di dahinya membuat gue ragu menyentuhnya, takut dia bangun, karena gue terlalu sering menyentuh wajahnya.

Gue nggak pernah tau jika mencintai seseorang yang hatinya udah jelas bukan buat gue akan semenyesakkan ini. Untuk kedua kalinya gue tau bahwa mencintai yang bukan miliknya benar-benar membutuhkan sebuah kekuatan ekstra serta sabar yang luar biasa hebat.

Tangan gue buru-buru menjauh bersamaan dengan wajah gue yang kini menjauh dari sisi ranjang dimana Iris terbaring. Gue menegakkan tubuh gue dan pura-pura duduk di kursi yang ada di samping ranjang. Kedua mata Iris mengerjap beberapa kali sampai akhrinya terbuka sepenuhnya.

"Ahhh! Pusing banget kepala gue."

"Kalo nggak pusing malah gue yang bingung."

"Gue butuh ucapan selamat pagi, bukan sarkas pagi." Ucapnya sambil mencebikkan bibirnya. Gue hanya mendecih lantas membantunya untuk bangun, tangan gue refleks menaruh dua bantal yang bertempuk di belakang punggungnya supaya Iris bisa bersandar.

TENTANG SEPASANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang