Iris.
"Aku nggak tau kalo ternyata waktu berlalu begitu cepat, Mas." ucap gue pada Mas Diran yang kini tengah terduduk di samping gue sembari menyesap wine miliknya. Gue menarik napas membiarkan angin sore menerpa permukaan kulit wajah gue. Gue menyibakkan rambut gue ke belakang. Pandangan mata gue terarah pada debur ombak yang kini terpampang nyata di hadapan gue.
"Sama, aku juga nggak menyangka kalo akhir tahun sudah menyapa dan bulan Desember sudah di depan mata." Jawabnya sembari menggelengkan kepala tanda tidak percaya bahwa hari ini sudah menyentuh tanggal akhir bulan Desember. "Well, paling nggak kita sama-sama punya waktu untuk liburan barang satu minggu di Bali."
"Bali selalu jadi pelarian setiap kali aku merasa butuh udara segar dan tempat sepi untuk menyendiri. Tahun lalu pun sama, aku berada di Bali untuk waktu yang lama dan rasanya menyenangkan." Kata gue.
Gue dan Mas Diran memang akhirnya memutuskan untuk rehat sejenak selama satu minggu dari pekerjaan kami masing-masing. Ya semacam liburan bersama teman lah. Tahun ini ada begitu banyak hal terjadi pada kami berdua dan rasanya kami butuh sesuatu untuk menyembuhkan luka serta perasaan sakit yang kian hari kian sesak di dalam dada.
Tadinya gue berniat untuk pergi ke Bali sendirian, lagipula gue memiliki vila di sini. Jadi gue nggak perlu khawatir soal penginapan. Gue hanya nggak terbiasa untuk menetap di hotel ketika nggak ada orang yang gue kenal ada di samping gue.
Nares, udah nggak ada di sini untuk jagain gue dan memastikan kalo nggak ada hal-hal aneh yang mengganggu gue selama liburan. Gue harus mandiri sekarang dan terbiasa tanpa kehadirannya. Sudah hampir dua bulan kepergiannya dari Indonesia, atau lebih tepatnya gue pun nggak tau dia ada dimana sekarang. Dia nggak kasih tau gue dan nomornya pun sudah berganti. Sepertinya Nares benar-benar ingin gue hilang dari hidupnya.
Gue harus akui setelah kepergian Nares, gue dan Mas Diran kian dekat bahkan bahasa yang kami gunakan sekarang sudah bukan lagi lo dan gue tapi aku dan kamu. Gue nggak merasa itu hal yang salah hanya saja, gue bahkan nggak menggunakan sapaan itu dengan Nares ataupun Juna dulu. Gue memejamkan mata sejenak, kenapa dua nama itu muncul lagi di dalam otak gue ketika alasan gue pergi dari Jakarta adalah mereka berdua. Dan sekarang yang ada di samping gue adalah Mas Diran.
Seorang laki-laki yang entah bagaimana jadi dekat dengan gue. Gue rasa apa yang terjadi antara gue dan Mas Diran bukanlah kejadian yang tiba-tiba ataupun terjadi begitu saja, ada proses di balik itu yang ternyat anggak mudah dan sakitnya bukan main. Gue dan dia sama-sama memilih untuk mencintai orang yang jelas-jelas nggak mencintai kami berdua. Lalu gue dan dia menjalani hubungan meskipun tau akhirnya akan berpisah dan nggak akan bertahan sesuai apa yang kita mau. Lalu pada akhirnya, gue dan dia yang ditinggalkan begitu saja lengkap dengan luka yang masih menganga.
Seperti yang sudah gue katakan sebelumnya, gue dan Mas Diran jadi terbiasa bersama dan menghabiskan waktu berdua. Kadang hanya untuk saling berbagi cerita atau malah hanya sekedar maan es krim di café. Nggak jarang Mas Diran datang ke lokasi syuting fiilm gue yang baru. Beberapa bulan terakhir ini gue memang disibukkan sama syuting film dan pemotretan juga beberapa iklan yang terus saja berdatangan. Akhirnya akhir tahun ini gue meminta untuk istirahat barang satu minggu untuk melepas penat dari masalah kerjaan juga tekanan dari berbagai pihak yang seringkali menuntut gue untuk menjadi seseorang yang sempurna.
KAMU SEDANG MEMBACA
TENTANG SEPASANG
Beletrie(SELESAI) "Lo itu rumah gue, mau gimanapun keadaannya, gue akan kembali ke lo dan seperti janji yang kita buat, jangan sampai ada kata putus diantara kita." Tadinya gue berpikir begitu, tentang hubungan gue dan Mirah, tapi sepertinya nggak akan semu...