Juna.
Gue mengedarkan pandangan ke sekitar gue, nggak ada yang berubah dari tempat ini. Semuanya masih sama. Ruangan ini nggak jauh berbeda semenjak terakhir kali gue ke sini, masih penuh dengan warna biru dan putih. Karena begitulah Mirah, menyukai warna biru lebih dari warna lain.
Gue memandangi dia yang tengah mengolesi betadine di sudut bibir gue. Sebelumnya dia sempat mengompres pipi gue yang berwarna kemerahan, warna yang jelas kontras dengan kulit gue yang pucat.
Sejak lima belas menit lalu gue dan Mirah memutuskan untuk diam. Dia sibuk untuk mengobati luka gue, begitupun gue yang sibuk untuk memandangi dia dari jarak sedekat ini. Gue menelan saliva saat wangi lavender menyerbak di seluruh panca indera gue. Wangi yang sejak dulu selalu menjadi wangi favori yang ingin terus menerus gue hirup. Wangi yang akan selalu mengingatkan gue akan sosok Mirah yang ceria dan penuh tawa.
Dia mengolesi betadine di sudut bibir gue, lantas merapikannya dengan jari telunjuknya. Gue hanya meringis saat jari telunjuknya menyentuh bagian bibir gue yang robek.
Tamparan Iris beberapa jam lalu, memang sempat membuat bibir gue robek lantas mengucurkan darah segar dari dalam. Gue nggak ambil pusing, toh ini bukan pertama kalinya Iris begitu ke gue. Gue bahkan nggak terlalu memikirkan luka gue jika bukan karena Mirah yang bertanya.
Dari dulu, Mirah nggak pernah suka jika gue berantem atau sampai melakukan hal yang merugikan diri gue sendiri.
Mirah selesai mengobati gue, dia hendak menaruh kembali kotak P3K yang selalu dia simpan di lemari ruang tamunya, laci nomor tiga. Gue tau, karena dia begitulah Mirah, tertata dan rapi.
Gue menahannya untuk tetap di samping gue.
"Jangan pergi, Mir." Gue bicara dengan nada memohon, gue nggak mau dia pergi dari pandangan gue. Gue kembali menelan saliva gue, mata gue menatap Mirah lekat-lekat.
Mirah menarik napas panjang, dia membalas tatapan gue.
Sungguh, di dalam matanya sama sekali nggak ada tatapan kebencian untuk gue. Gue malah merasakan jika dia tengah mengkhawatirkan gue sekarang.
"Kamu kenapa lagi, Jun?"
"Bukan aku yang mulai duluan."
"Berantem?"
"Iya."
"Sama siapa?"
"Iris."
Lalu hembusan napas Mirah terdengar sekali lagi. "Kamu ngapain emangnya?"
"Nggak tau, dia marah terus tiba-tiba nampar aku."
"Harusnya ada penjelasannya."
Gue nggak mungkin bilang kalo alasan Iris nampar gue ya karena Mirah. Karena Iris cemburu kemarin gue nyanyi dan gandengan tangan sama Mirah di panggung. Gue nggak mungkin bilang itu ke Mirah, gue nggak mau kembali membuat suasana makin canggung diantara kami berdua. Sudah cukup tiga bulan lamanya gue sama sekali nggak melihatnya ada di hadapan gue. Sudah cukup gue dan dia untuk saling diam seolah nggak kenal, ketika sebelumnya gue dan dia menghabiskan waktu tujuh tahun untuk bersama.
KAMU SEDANG MEMBACA
TENTANG SEPASANG
General Fiction(SELESAI) "Lo itu rumah gue, mau gimanapun keadaannya, gue akan kembali ke lo dan seperti janji yang kita buat, jangan sampai ada kata putus diantara kita." Tadinya gue berpikir begitu, tentang hubungan gue dan Mirah, tapi sepertinya nggak akan semu...