30 - Tentang Perpisahan

157 20 2
                                    

Nares

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Nares.

Kemarin malam gue baru dapat kabar lagi dari Mas Diran, kalo surat pengunduran diri gue sudah resmi diterima. Jadilah mulai besok gue nggak akan lagi beekrja sebagai seorang manajer dari Iris Pradnyana ataupun seorang karaywan dari Beast Entertaienment. Gue akan jadi seorang laki-laki biasa yang nggak ada lagi sangkut pautnya dengan perusahaan manapun mulai besok.

Hari ini, gue masih dikasih kesempatan untuk menemani Iris melaksanakan jadwalnya seperti biasa. Dia sepertinya belum tau soal gue yang akan pergi jauh dari sisinya. Padahal dengan jelas gue menulis sebuah surat di dalam kado yang gue kasih ke dia seminggu lalu. Gue tau Iris makanya gue yakin sejak awal dia nggak akan langsung membuka kado yang gue kasih. Dia nggak akan pernah sadar jika kado pemberian gue itu adalah sebuah ungkapan pamit gue padanya.

Gue tersenyum kecil, menertawakan kebodohan gue sendiri karena bahkan untuk sekedar mengucapkan pamit saja, gue nggak bisa sama sekali. Lidah gue terlalu kaku dan kelu untuk mengucapkan salam perpisahan padanya. Gue belum bisa, nggak. Gue hanya nggak bisa dan nggak mau mengucapkan perpisahan pada Iris.

Dengan gue mengucapkan salam perpisahan dengannya, itu artinya perpisahan yang akan terjadi antara gue dan Iris nyata adanya. Padahal dalam hati, gue masih terus menyangkal bahwa gue akan meninggalkannya sendirian.

Nggak.

Iris nggak akan sendirian.

Karena sekarang ada seseorang yang akan selalu ada di sampingnya.

Seseorang yang kehadirannya Iris butuhkan dan akan selalu dia cari setiap waktu. Seseorang yang hadirnya bahkan mampu menggantikan posisi gue dengan mudah tanpa perlu susah payah berusaha.

Gue bicara begini, bukan berarti gue dendam sama seseorang itu.

Gue malah bersyukur, paling nggak ketika gue pergi, Iris nggak kesepian lagi.

Selama lebih dari lima tahun gue mengenalnya, Iris paling benci sama sepi.

Dia juga nggak suka makan sendiri, meskipun nyatanya dia sering melakukan hal iti setiap kali dia pulang dari setiap jadwalnya. Selama ini, gue tau jika Iris terus menerus melakukan sesuatu yang dia benci dan nggak dia suka.

Gue mau Iris belajar untuk melakukan apapun yang dia suka dan dia menikmati hal-hal yang dia lakukan itu tanpa pernah ada rasa beban dan tekanan dari siapapun. Gue mau Iris menjadi lebih terbuka dan menerima setiap perasaan yang ada di dalam hatinya. Meskipun nantinya bukan gue lagiyang akan dia ajak cerita. Juga, kisahnya mungkin nggak lagi dia bagi dengan gue.

Gue menarik napas panjang.

"Kenapa, Res?" suaranya yang khas membuat gue berpaling untuk mendapat sebuah tatapan datar dari Iris yang kini duduk di samping gue. Kami berdua tengah berada di sebuah café, Iris ngajak untuk mampir sebentar. Gue nggak menolak, karena jika boleh minta lebih, gue mau malam ini kami berdua menghabiskan waktu bersama. Sayangnya itu nggak mungkin.

TENTANG SEPASANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang