Bagian - 07

482 388 59
                                    

Makan malam dikediaman keluarga Adnanda terasa menyenangkan dan khidmat, tidak ada yang bersuara selain suara dentingan sendok yang beradu. Ayah memang melarang berbicara didepan makanan, tidak sopan katanya.

Tapi sepertinya itu tidak berlangsung lama saat ...

"Ni tempe ko item banget?" Zidan membuka suara sambil mengangkat satu potong tempe berbentuk persegi yang hitam akibat gosong.

"Tanya aja sama yang goreng nya" Bunda menjawab pertanyaan Zidan, sambil melirik Zea yang ada disampingnya.

Zea meringis malu saat menyadari bahwa tempe gosong itu ulahnya, ia tidak sengaja meninggalkan kompor saat menggoreng tempe itu, dirinya pergi sebentar untuk mengangkat telepon rumahnya yang berdering.

Tapi kelupaan sampai duduk disofa depan televisi yang menyala, kalau saja Bi Sum tidak ada didapur, mungkin bukan hanya tempe yang gosong, tapi rumahnya juga.

"Zea kan lupa Bun kalo lagi goreng tempe" Gumamnya.

"Lupa mulu hidup lo Ze kaya emak-emak 70-an"

Sandal mana sandal?! Mau nabok bibir Zidan.

Zea mendengus kesal mendengar Zidan yang mengatainya emak-emak. Hello! Umurnya saja masih 17 tahun, itu juga masih beberapa bulan lagi.

"Kalo gue emak-emak terus lo apa? CICAK?" Zea tak mau kalah.

"LO--"tunjuk Zidan kepada Zea, "emak-emak" lanjutnya dengan muka menyebalkan.

Bunda memutar bola matanya malas, ini masih dimeja makan kalau mereka lupa.

"Berhenti berdebat atau Bunda coret kalian berdua dari Kartu Keluarga" Ancamnya.

Zea mengerucutkan bibirnya sebal lalu pandangannya jatuh kepada sang Ayah.

"Yah ... Zidan tuh nyebelin" Adunya dengan muka melas meminta bantuan.

"Bang! Sudah ya" Suara Ayah terdengar tegas.

Mau tak mau Zidan bungkam, tak bisa melawan panutannya. Sementara Zea tersenyum puas dan menjulurkan lidahnya mengejek.

"Mampus lo!" Ucapnya tanpa suara.

***

Angin malam berhembus sejuk dan menenangkan, langit malam yang tampak cerah bertabur bintang.

Saat ini Zea dan Zidan sedang duduk di gazebo belakang rumah yang dekat dengan taman serta kolam renang. Keduanya sama-sama fokus melihat layar ponsel masing-masing.

Zidan duduk selonjoran sambil bersandar di tiang gazebo, sedangkan Zea tiduran tengkurap disamping kakaknya itu.

Sudah berulang kali tangan lentiknya men-scroll ke atas dan kebawah layar handphone, menonton berbagai tutorial kecantikan, mukbang, atau video-video lucu seperti video yang sekarang sedang terputar dilayar--

"Woy! Lo pada dimana anjim, gue sendirian lawan musuhnya nih!" Suara Zidan membuyarkan fokus Zea yang sedang menonton. Jika dilihat-lihat Zidan sekarang seperti orang gila karena berbicara pada ponsel.

"Denis sialan, lo dimana njir, keburu mati nih gue!" Teriak Zidan lagi membuat Zea menggeram kesal.

"DENIS CEP--"

TAK

"--adaww pala gue!"

Zidan mengusap-usap kepalanya yang sakit akibat pukulan dari Zea.

"Kenapa sih Ze?" Tanya Zidan dengan muka polosnya.

SANDAL! WHERE ARE YOU NOW?!
Zea butuh sandal.

"Kinipi sih Zi?" Zea mencibir mengikuti ucapan Zidan, "BACOT LO BERISIK SETAN!" Teriak gadis itu saking kesalnya.

Zidan mengerjapkan matanya beberapakali dengan masih menatap adiknya yang berteriak.

"Astaga Zea, mulut lo"

"Kenapa? Mulut gue kenapa? Bagus? Iya?!" Tanyanya berulang-ulang.

"Ck ck" Zidan menggelengkan kepalanya sok puitis, "udah mulai gak war--"

"DORRR!"

"AAAAAAAAA"

***

Dilain tempat, lebih tepatnya di dalam kamar seorang remaja tampan yang sedang memandang kosong jendela kamar yang terbuka.

Tampak sang penghuni itu tidak baik-baik saja, emosinya masih ada walau sudah beberapa jam berlalu. Rasa kesalnya tak bisa hilang dalam sekejap.

Tidak ada yang bisa mengerti dirinya, ia butuh tempat berkeluh kesah saat sedang seperti ini. Butuh rumah yang memang bisa ia tempati. Tapi siapa? Dia tidak semudah itu untuk menceritakan kisah hidupnya kesembarang orang.

Hidup mandiri memang sudah ia rasakan sedari dulu, jadi ia harus menjalani ini semua sendiri.

Ia berjalan ke arah jendela kamar yang terbuka itu lalu berdiri disana sambil memandang langit malam yang dipenuhi bintang.

Andai saja, kehidupannya bisa ia atur sendiri, mungkin dia tidak akan merasa seperti ini.

Menyendiri. Sepi. Tertutup.

Tapi ini sudah takdirnya, tugasnya hanya menjalankan semua ini dengan sebaik-baiknya.
Ia harus kuat demi perempuan yang amat sangat ia sayangi, ia hormati, dan ia banggakam.

Sumber kebahagiaan satu-satunya ada disana. Di satu orang.

"Van, boleh Mami masuk?"

***

-Tbc-

Vote & commentnya jangan lupa temen-temen 🤍🤎

Ig : @sepiadee

Luv pii♡

GEOZATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang