Chapter-8

4.5K 287 27
                                    

Mobil mewah berwarna merah darah sudah terparkir dengan rapi di sisi mobil putih milik seseorang. Seorang gadis cantik keluar dari dalam mobil, membuka bagasi, dan mengeluarkan koper yang selaras dengan warna mobilnya. Rambut panjangnya dikibaskan ke belakang. Kaca mata hitam yang menutupi mata indahnya pun telah berpindah ke atas kepalanya. Matanya mengedar melihat sudut halaman depan rumah seseorang. Rumah mewah yang dominan bercat putih itu tampak sepi.

Saat akan melangkah, tiba-tiba suara bariton dari belakang membuat gadis itu menoleh. Seorang laki-laki setengah baya berseragam seperti seorang satpam menghampirinya. Orang yang sama yang juga membukakan pintu gerbang untuknya.

"Calon istrinya mas Bara, ya?" tebak bapak yang belum ia ketahui namanya.

"Hah?" Wajahnya menunjukkan raut kebingungan.

"Mas Bara bilang calon istrinya mau datang," jelasnya. "Oh iya, nama saya Imron, Mbak."

"Adara. Panggil saja Ara."

Setelah selesai saling memperkenalkan diri, pak Imron mempersilahkan Adara masuk ke dalam rumah.

❤❤❤

Keputusan Adara sudah bulat. Dia sudah menandatangani kontrak dengan Bara. Dan tidak bisa dibatalkan begitu saja. Adara bukan pengecut. Apapun janji yang diucapkannya harus bisa dia tepati. Meskipun kemarin Bara sempat membatalkan perjanjian mereka dan membatalkan Adara untuk menjadi pembantunya. Tapi Adara tau alasan dibalik sikap Bara.

Bara kasihan kepadanya. Itulah alasannya. Bara melihat Adara sakit dan berempati kepadanya. Sedangkan Adara benci merasa dikasihani. Dia bukan gadis lemah yang memelas belas kasihan agar keinginannya tercapai.

Seharusnya Adara senang karena dia tidak perlu menjadi pembantu seperti keinginannya. Tapi apalah daya ego tinggi yang menguasai diri. Merasa dikasihani adalah hal menyedihkan dalam hidupnya. Dia tidak membutuhkan itu, dan benci akan hal itu. Hingga pada akhirnya dengan kekeras-kepalaan Adara dia bisa menunjukkan bahwa dirinya bukan wanita lemah dan tidak perlu untuk Bara kasihani. Serta satu hal yang mau tidak mau harus dia lakukan. Rela tinggal serumah dengan Bara yang sudah termasuk persyaratannya.

Rumah Bara memanglah sangat luas. Bahkan lebih besar dari rumahnya. Dan ini pertama kalinya Adara menapakkan kakinya di rumah pemilik sekolahnya. Desain dan interior rumahnya sangat indah. Bahkan ruangannya pun sangat bersih. Sangat enak dipandang. Benar-benar menakjubkan.

Tapi apa Bara tinggal di rumah sebesar ini sendirian? Masa' ?!

Adara menghentikan rasa takjubnya kala sang majikan barunya turun dari anak tangga. Sebenarnya dia gengsi menyebut Bara majikannya. Tapi bukankah itu kenyataan? Sepertinya dia harus belajar menerima kenyataan sekarang.

"Calon istri datang harusnya disambut." sindir Adara saat melihat Bara hanya memandangnya dengan bersedekap dada. Menjengkelkan!

Bara mengernyitkan dahinya. Dia melihat penampilan Adara dari atas hingga bawah. Rambutnya yang panjang digerai bebas. Rok ungu di atas lutut dan kaos putih polos sebatas perut. Benar-benar tidak terlihat sebagai calon pembantu baru. Seperti temannya, tapi Bara sendiri tidak pernah mengajak teman wanitanya ke rumah. Mungkin memang benar jika Adara terkesan menjadi pacarnya, atau mungkin calon istri?

Bara mengabaikan sindiran Adara. Justru ia beranjak pergi. Niatnya ingin menunjukkan kamar untuk gadis itu. Tapi si empu tidak kunjung mengikutinya. Malah hanya memperhatikan kepergiannya sembari menggerutu. Bara berhenti, menoleh menatap Adara seperti biasa. Tatapan tajam bak elang yang tidak pernah hilang dari sorot matanya.

"Ikut gue!" Bara kembali melanjutkan langkahnya yang langsung diikuti Adara.

Adara berjalan sedikit lebih cepat, menyeimbangkan langkah Bara.

MAID IN 30 DAYSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang