8 - Katarina

4.3K 662 17
                                    

"Apa rasanya jatuh cinta?" pertanyaan itu muncul laiknya denting lonceng yang menghentikan kesemua kasak-kusuk gerakan ketiga orang lainnya di kamar. Tiga pasang mata serempak menatap beku Kania yang berbaring di ranjang, bersenandung sembari menggores pensil di buku sketsanya. Menyadari tatapan penuh penilaian itu, Kania membelalakkan mata emas indahnya. "Ada apa?"

Daria yang pertama bersuara. Selalu Daria. "Kania... hmm... apa kau tertarik... pada seorang pria?"

Kania segera bangkit ke posisi duduknya. Rambut hitam panjangnya menyentuh siku layaknya sutra termahal. Kedua matanya memicing. "Aku? Apa yang membuatmu berpikir demikian?"

"Tidak mungkin kau melontarkan pertanyaan itu tanpa alasan, bukan?" Langkah panjang Daria menelan jarak dari depan kamar mandi ke ranjang tempat Kania berbaring. Empat tiang ranjang berguncang ketika Daria melompat ke sisi adiknya dan merangkul bahunya. "Ayo, sini, beritahu kakakmu. Aku akan mengajari pria itu sopan santun jika ia berani menolak adikku yang paling cantik ini."

"Ha. Ha. Ha. Terima kasih." Kania melepaskan diri dari rangkulannya. "Tetapi, tidak, aku tidak tertarik pada pria."

Sebelah alis Katarina terangkat. Keterkejutan yang campur aduk dengan kebingungan. "Jadi kau tertarik pada wanita." Entah mengapa itu lebih terdengar seperti pernyataan daripada pernyataan.

"Oh, tidak." Kania berguling sehingga punggungnya menyentuh empuk kasur. "Aku tidak tertarik kepada manusia. Satu-satunya yang bisa membuatku tertarik adalah alam. Mungkin aku akan menjadi pertapa karena dengan demikian aku bisa lebih dekat dengan alam."

"Ha. Kau belum tahu saja rasanya." Daria mendengus.

"Aku serius, Daria. Maksudku, itulah alasan mengapa aku tidak pernah melukis manusia. Tidak ada keindahan yang bisa aku temukan dalam manusia. Manusia—termasuk aku sendiri penuh cacat, seakan-akan kita diciptakan oleh ego itu sendiri."

"Itu bukan sesuatu yang dipikirkan oleh anak berumur tujuh belas tahun sepertimu, Kania." Daria mengacak rambutnya. "Perjalanan hidupmu masih panjang dan kau tidak akan pernah tahu kejutan apa selanjutnya yang menantimu."

"Tetapi, sungguh, apa rasanya jatuh cinta? Wanita di perkumpulanku tadi siang mengoceh tentang cinta seakan-akan mereka sudah merasakannya berulang kali. Memang jatuh cinta semudah itu, ya?"

Esther yang sedari tadi diam, menutup buku bacaannya, berkata, "Jatuh cinta? Semudah kelinci terperosok ke dalam perangkap serigala."

"Ah. Pasti menyakitkan rasanya."

Senyum pahit menghias paras ayu Esther. Pemandangan yang sekejap mata itu layaknya lukisan paling sedih yang pernah dirinya lihat. "Tentu saja. Namanya 'jatuh'."

Katarina yakin. Seyakin-yakinnya. Seyakin sampai ia berani bertaruh atas hidupnya, bahwa ada insiden penting terjadi di antara Esther dan suaminya, Rafe. Demi dewa, Esther yang tadinya merupakan manusia termanis yang ia kenal, mendadak merupa janda tua tak pernah keluar rumah. Katarina ingat betul sebelum Esther menikah, setiap kali mereka mengadakan malam khusus wanita seperti ini, Esther akan menceritakan tentang Rafe dengan girang. Bagaimana ciuman pertama mereka di bawah pohon rindang, bagaimana Rafe menyelamatkannya yang tidak bisa berenang. Sekarang? Hanya larutan kesedihan mewarnai wajah rupawannya.

"Tidak sesakit kalau kau dibanting jatuh oleh lawan yang dua kali lebih besar darimu," timpal Daria.

Kania memutar bola matanya. "Duh. Daria, kau pasti tidak pernah jatuh cinta."

"Pernah, sungguh! Aku pernah jatuh cinta kepada paman Gideon."

Dahi Esther mengernyit. "Gideon itu paman kita. Adik ayah kita. Itu namanya mengaggumi, bukan mencintai, Daria."

KATARINATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang