Prolog

16.1K 1K 51
                                    

Y217

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Y217

Pada senja hari itu, Katarina de Clare melaksanakan rutinitasnya—menunggu ayahnya sembari membaca buku di jendela perpustakaan yang menghadap langsung ke jalan utama. Sorot pandangnya beralih dari jendela-buku-jendela-dan begitu seterusnya. Jantungnya berdegup cepat akan antusiasme. Ini adalah hari yang paling ia nantikan dalam seminggu karena Ayah akan pulang dari tugasnya di ibukota, kemudian membawakan hadiah bagi dirinya.

Minggu lalu, ayahnya membawa pulang setangkai mawar liar yang segera ia keringkan dan simpan di antara lembaran catatan hariannya. Dua minggu yang lalu, bulu burung yang jatuh pada sol sepatunya. Tiga minggu sebelumnya, batu kali yang sebening kristal. Katarina bersenandung senang. Benda-benda yang ditemukan ayah dalam perjalanan pulangnya melukiskan tidak sekedar alam, tetapi juga jalan setapak yang dilalui ayahnya. Terkadang, kala bosan Katarina sering memeluk catatan hariannya sambil membayangkan dirinya berada di samping ayahnya.

Ayahnya, Lord de Clare adalah pria penyayang dan baik hati. Ia adalah satu-satunya hal yang mampu memberikan kebahagiaan dalam hidupnya. Harapan, dalam hidupnya. Katarina menyukai pelukan serta senyuman hangatnya yang seakan-akan berkata, aku mengerti apa yang kau rasakan. Senyuman itu merangkul jiwanya, memberikan alasan bagi dirinya untuk menghadapi omongan serta cemoohan orang dengan tegar.

Bukan rahasia lagi bahwa mendiang ibunya, Emmaline de Clare, sangat membenci penampilannya yang tidak menarik. Matanya gelap dan selalu mendung oleh beribu-ribu pikiran. Rambutnya cokelat gelap yang tebal terkesan kelam nan suram. Bibirnya terlalu tebal untuk mulut yang jarang berbicara. Katarina mengingat persis, tiga tahun lalu, kalimat terakhir yang keluar dari bibir ibu sebelum kematian menjemput: Aku tak mau dia di sini. Seakan-akan dirinya adalah kegagalan yang tak dapat ia hindari. Bahkan di penghujung hidupnya, ibu berhasil mencari celah untuk menyakiti hatinya yang sudah rapuh.

Dewa manapun tahu bahwa dirinya bagai kerikil apabila dibandingkan dengan adik perempuannya, Dominica. Min lebih muda dua tahun dan dari dirinya sudah terpancar kecantikan yang melebihi milik ibunya. Tiada satu pun orang yang tidak mencintai mata biru besarnya dengan bulu mata tebal. Bahkan, Katarina sendiri pun mengaggumi mata ekspresif yang bagai lautan safir itu. Tidak seperti Emmaline, Min menyayangi Katarina sebagaimana Katarina pun menyayanginya. Min selalu membela Katarina. Ia memarahi pelayan manapun yang berani menghina dirinya. Ia bahkan berani menantang anak laki-laki yang bertubuh dua kali lebih besar dari dirinya.

Oh, Min yang kecil nan jelita. Katarina akan melakukan segala hal yang dibutuhkan untuk memastikan kebahagiaannya. Ia adalah bagian dari dirinya yang hilang—keberanian serta kecantikan. Dua hal yang telah terkubur jauh entah di mana dalam dirinya semenjak ibunya sendiri memperlakukannya seperti anak tiri. Dominica dan ayah adalah dua sosok yang ia perlukan dalam hidupnya, menguatkan pilar hatinya.

Dari sudut matanya, Katarina menangkap sesosok pria yang menunggangi kuda dengan kecepatan mengejutkan. Sontak, Katarina melepaskan pegangan pada buku di genggamannya dan menyentuh permukaan jendela yang mendadak berubah dingin kendati matahari senja berada tepat di hadapannya. Pria itu mendekati pintu utama, darah bercucuran dari sisi kepala, tubuh, punggung—seluruh tubuhnya. Katarina tidak mampu menangkap ekspresi yang tertera pada wajahnya, namun satu hal yang pasti: itu bukan ayahnya dan mustahil pria itu membawa kabar baik.

Katarina melangkahkan tungkai pendeknya melintasi ruangan, mendorong pintu perpustakaan yang amat berat. Ibunya boleh menjelek-jelekkan mata cokelat kelamnya, tetapi penglihatannya tidak dapat dikelabui. Sembari berlari di koridor kediaman yang panjang, ia melirik sebuah jam besar di salah satu dinding. Pukul lima empat puluh lima. Ayah tidak pernah pulang sesore ini. Ia mengenal ayahnya dengan baik, ayahnya adalah seseorang yang tepat waktu. Dalam benak pria itu selalu tersusun rapi segala hal yang harus dikerjakannya, sehingga ia tak pernah sekalipun terlambat.

Tangan-tangan dingin mulai menyelimuti jantungnya, memaksa detak demi detak seiring langkahnya menggebu menuju ruang tengah. Langkahnya berhenti kala ia mendapati wajah penunggang kuda pucat pasi. Darah seakan tersedot keluar dari pembuluhnya. Darah mengalir dari sisi tubuhnya selagi mulutnya mengeluarkan suara-suara lemah, sebuah kisah yang amat tragis, kepada kepala pelayannya, Lawrence. Tanpa ia sadari, tangannya membentuk kepalan yang menyakitkan. Kukunya menancap semakin kuat pada telapaknya seiring kakinya meniti satu per satu anak tangga.

Katarina berhenti pada anak tangga terakhir, memandangi pria berlumuran darah itu dibawa oleh para pelayan untuk diobati. Lawrence, kepalanya menunduk, mendekati Katarina. Tiap langkahnya berat seperti beban dunia bersarang di punggungnya. Di telapak tangannya, cincin yang Katarina kenal, kehilangan kilaunya oleh darah. Suara Lawrence terdengar sedih dan penuh penyesalan, bertahun-tahun sudah Lawrence mengabdi kepada keluarganya—kepada ayah. "Kehendak terakhir Lord de Clare kepada Lady de Clare." Lawrence menyerahkan cincin tersebut kepada Katarina.

Saat cincin itu menyentuh kulit tangannya, Katarina tak mampu menimbang—menerka perasaan yang membanjiri seluruh hatinya. Hatinya yang sudah rapuh, porak-poranda oleh sakit yang tak bisa ia ketahui ujungnya. Pada detik itu, tiada suara satu pun masuk melalui genderang telinganya meskipun Lawrence menangis hingga bersujud di hadapannya. Jantungnya berdetak kencang, satu, dua, tiga, namun tiap detaknya terasa bagai seabad.

Pandangannya yang berkabut meneliti cincin di telapak tangannya. Ia mengenal baik cincin itu. Cincin berlapis emas dengan ukir tulisan kuno asing yang senantiasa dikenakan ayah kapan pun, di mana pun. Ini hal yang paling berharga bagiku, ujar ayah pada suatu malam kelabu, meskipun cincin ini tidak mengemban lambang keluarga, cincin ini lebih berharga dari apapun yang ada di dunia. Kau akan memilikinya, Katarina, ketika ayah tahu bahwa tiada lagi mentari pagi yang akan menyinari jiwa ayah.

Katarina memeluk dirinya sendiri karena ia tahu bahwa mulai saat itu, tiada seorang pun yang akan memeluknya penuh cinta serta sayang layaknya ayah. Kilas balik ingatan akan senyuman dan rangkulan ayah berkelebat begitu cepat dalam benaknya. Aku mengerti apa yang kau rasakan, nak. Aku mengerti apa yang kau rasakan, nak. Tangannya yang konstan membelai rambutnya, memberikan sebuah janji dan jaminan akan sayang... serta keamanan. Murni, sungguh-sungguh.

Sekarang, siapa yang akan mengelus rambutku dan mengatakan bahwa segalanya akan baik-baik saja? Jemarinya kuat menancap pada sisi tubuhnya—tetapi ia tidak merasakan sakitnya. Ada rasa sakit yang jauh lebih besar di hatinya. Di jiwanya. Kehilangannya. Dan ia berusaha—untuk menjadi kuat di saat orang lain di sekitarnya hancur, sehancur-hancurnya. Sebab saat itu, segala hal tidak baik apa adanya. Dan tiada ayah yang akan menguatkan dirinya. Hanya dirinya. Seorang. Di umurnya yang ketiga belas tahun.

Butuh beberapa detik untuk menyadari tangan mulus seputih porselein itu pada pundaknya. Kedua alis pirang itu mengerut heran. Mata biru besarnya bertanya-tanya. "Ada apa, Kat? Ayah belum pulang?" Suaranya bagai dentingan piano, merdu. Bagaimana caranya ia mengungkapkan apa yang sesungguhnya terjadi kepada Dominica, adiknya yang sangat ia sayangi, yang ia janjikan kebahagiaannya?

Katarina tidak menyadari aliran sungai yang terbentuk pada pipinya saat memilah kata demi kata. "Ia tidak akan pulang untuk selamanya, Min. Sekarang tinggal diriku dan kau." []


Notes to reader:

Karena banyak yang bingung dengan latar cerita Ugly Royale dan saya juga bingung.... hahaha, akhirnya saya memutuskan buat ngerombak ulang latar ceritanya. Anggap saja dunia di novel ini masih jaman bahula, jaman kerajaan, yang menggunakan lilin alih-alih listrik. Tetapi peristiwa di Ugly Royale masih tidak berubah, hanya latar waktunya saja :) terima kasih yang sudah mendukung saya!

KATARINATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang