27 - Katarina / ???

3.3K 538 118
                                    

Katarina ingat mimpinya. Ia kembali bertemu dengan Ayah di padang rumput yang sama. Semilir angin yang sama. Aroma tanah yang sama. Rasa rindu yang sama. Tetapi, kali itu, seorang wanita berdiri di samping ayahnya. Bukan Emmaline, melainkan sosok yang sama sekali tidak Katarina kenal. Wanita mungil, bermata besar dan mengobarkan semangat. Senyuman wanita itu seulas dengan miliknya. Memberikan sebuah pertanda. Katarina, ujar wanita itu.

Dan segalanya berubah gelap.

Katarina juga ingat tangan-tangan misterius membungkam bibirnya, menyelipkan kain yang menguarkan bau minyak ke antara giginya. Membungkus paksa kepalanya dengan kain yang lebih besar. Katarina berusaha meronta kendati ia tahu bahwa dua orang laki-laki berbadan besar menahan gerakannya di ranjang. Sepersekian detik kemudian, tangan dan kakinya diikat. Ikatan yang teramat erat sampai-sampai Katarina merasa tali tersebut akan meleleh, membakar kulitnya. Ia tidak lagi bisa memberontak.

Pemandangannya gelap gulita sehingga ia memanfaatkan indra lainnya. Telinganya menangkap derit jendela dibuka, angin malam menerpa kulitnya. Mengibarkan gaun tidurnya. Saat ia kira pria-pria itu akan mengakhiri hidupnya, seseorang membopongnya. Ia mendengarkan tiga atau empat pria tersebut berbicara dan semakin lama benaknya tidak lagi bisa memproses omongan mereka.

Di dalam kain tidak ada celah baginya bernapas. Udara di paru-parunya semakin tipis, kakinya kembali meronta-ronta. Tubuhnya melawan gerayangan tangan itu. Ia berteriak dari dasar tenggorokannya. Ia membutuhkan udara. Pria di belakangnya berseru kepada seseorang yang membopongnya, "Buat diam wanita itu." Pukulan di tengkuknya membuat suaranya raib.

Bagian belakang kepalanya berdenyar sakit. Kala membuka matanya, ia masih disapa oleh kegelapan yang sama. Tetapi, sekarang, kain itu melingkar di sekitar mata dan mulutnya saja. Hal tersebut mengindikasikan bahwa para pria misterius itu tidak menginginkannya mati. Atau, belum.

Kaki telanjangnya meraba lantai yang becek dan licin. Entah berapa lama ia kehilangan kesadaran, yang pasti ia tidak lagi berada di kastil. Ruangan itu lembab oleh lumut. Suara para penawannya dilontarkan dari satu dinding ke dinding lainnya. Ia berada di sebuah ruangan sempit di bawah tanah, mengingat suara mereka tidak bergema terlalu jauh.

Katarina baru saja hendak menyeka peluhnya saat menyadari rantai yang mengukung pergelangan tangan dan kakinya. Rantai itu diikat pada sebuah kursi yang kaki-kakinya tidak lagi sempurna, limbung tiap kali Katarina bergoyang. Tidak menginginkan banyak perhatian, Katarina menghentikan segala gerakannya, diam di kursi itu hingga bokongnya kesakitan.

"Kau bayangkan emas yang kita dapat kelak." Seorang pria bersuara.

Pria lainnya menimpali, "Dengan semua emas itu, kita bisa menjadi bangsawan semudah jentikan jari."

"Semudah berkedip, maksudmu?"

Kedua pria itu tertawa.

Pintu kayu di seberangnya berderak. Katarina mengangkat kepalanya, begitu samar, ke sumber suara. Derit selanjutnya menandakan bahwa pintu itu ditutup kembali. Pria lain memasuki ruangan, napasnya terengah-engah. Tiap langkahnya menciptakan bunyi kecipak. Pria itu berdiri tak jauh darinya.

"Dia," Katarina mampu mendengar ludah yang ditelannya, "bukan putri Kania."

Dua pria yang sedari tadi menjaganya, bangkit dari kursi mereka. "Apa?" Suara mereka bersatu padu.

"Kabar sudah tersebar di mana-mana. Pencobaan penculikan terhadap putri Kania. Tetapi, yang kita culik bukan dia."

Tentu saja. Angan-angannya terlalu muluk. Apa yang Caiden sampaikan belum tentu benar. Seseorang mengincarnya? Hendak merebut cincinnya? Omong kosong. Ia sekadar wanita keturunan bangsawan yang kehilangan segalanya. Ibu yang tidak jelas identitasnya. Nama keluarga yang tercoreng karena skandal Ayah dan miliknya. Bahan cacian kalangan bangsawan. Katarina tidak lebih dari satu partikel hidup di dunia. Tanpa kepentingan berarti. Bukan seorang putri atau bahkan pangeran mahkota.

KATARINATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang