24 - Katarina

5.2K 562 109
                                    

Ketukan angin di permukaan jendela membangunkan Katarina

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ketukan angin di permukaan jendela membangunkan Katarina. Kelopak matanya tidak seberat perkiraan setelah menangis semalam. Jam dinding menunjukkan pukul tiga pagi. Merapatkan selimut ke tubuh, Katarina menyadari embusan konstan napas Caiden di puncak kepalanya. Dalam tidurnya, Caiden tampak lebih muda beberapa tahun. Kerut yang muncul akibat pekerjaannya, sirna begitu saja. Segala lelah dekat mulutnya nihil. Pemandangan itu melempar ingatan Katarina ke tiga belas tahun lalu, wajah manis Caiden di bawah sinar bulan.

            Katarina melarikan sentuhan sepanjang rahang Caiden. Anak rambut di sana menggesek jemari Katarina dan menimbulkan sensasi aneh. Kasar sekaligus penasaran. Bertanya-tanya, membayangkan sosok Caiden apabila ia tidak rajin bercukur. Tetapi, kemudian, Caiden akan terlihat tampan bagaimanapun ia memutuskan untuk berpenampilan.

            Seakan bangun dari mimpi indah yang panjang, kelopak mata Caiden membuka perlahan. Melihat Katarina di rangkulannya, ia tersenyum. "Hmm." Lalu, mengecup dahi Katarina. Caiden mengeratkan pelukannya, Katarina menemui dada telanjang Caiden yang menguarkan kehangatan. Katarina merapatkan kepala jauh lebih dalam, ingin menguasai hangat itu seutuhnya.

            Caiden tidak berhenti mengelus pundaknya ketika berkata, "Bahkan di saat seperti ini, cincin itu berhasil menyusup di antara kita."

            Mendongakkan kepala, Katarina mendapati tatapan Caiden pada cincinnya. Katarina meraih cincin ayahnya, kehangatan Caiden berseteru dengan dingin logam. "Ada apa dengan cincin ini?"

            "Aku sempat cemburu dengan cincinmu." Jawaban Caiden secepat kilat.

            Katarina tertawa oleh pernyataan Caiden, entah tawa keberapa yang Caiden berhasil ciptakan. "Kenapa?"

            Jemari Caiden menelusuri lehernya, berhenti di bawah dagunya. "Kau tanya kenapa, Angel?" Caiden mengusap dagunya. "Karena cincin itu lebih dekat dengan hatimu dibandingkan aku."

            Udara di paru-parunya sekejap hilang. Mulut Katarina terperangah, membuka. "Cincin ini peninggalan ayahku." Di benak Katarina, kilas balik ingatan itu mewujud berulang kali. Cipratan darah di cincin Ayah, tangis Lawrence yang belum pernah ia saksikan sebelumnya. Dan kehancuran pertama hatinya. Senja kesukaannya berubah jadi mimpi terburuk. Kehendak terakhir beliau. Suara Lawrence bergema memenuhi kepalanya.

            Caiden menggenggam tangannya. "Lord de Clare seorang pria yang baik. Pintar. Jenius, begitu ilmuwan Whiteford memujinya. Ia memenangkan banyak perundingan untuk Reibeart dan Ibu tidak pernah habis berterima kasih."

            Menyunggingkan senyum, Katarina menyadari kaki Caiden menautkan diri ke tungkainya. "Ia juga ayah yang baik."

            "Kau tahu, sesungguhnya, aku sudah mengenal dirimu terlebih dahulu dari cerita-cerita ayahmu."

            Katarina menumpukan siku di ranjang, menyamai tingkat pandangannya ke milik Caiden. "Ayah bercerita tentangku?"

            Mata Caiden menyusuri permukaan bibirnya, seakan hendak menciumnya. Gemas oleh tindak-tanduknya. "Ya, setiap saat, Angel. Dan juga tentang adikmu. Sepertinya tiada hari Lord de Clare tidak merindukan putri-putrinya. Ia selalu membawa potret kalian berdua di buku catatannya. Di potret itu—dua perempuan yang lebih muda dariku, tetapi entah mengapa, aku selalu tertarik kepada senyumanmu. Perasaan paling murni yang pernah kurasakan."

KATARINATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang