28 - Katarina / Caiden

3.5K 528 119
                                    

Untungnya, pria itu tidak langsung membunuh Katarina. Pintu kayu di seberang kembali membuka. Kali ini menampakkan sosok seorang pria bermata sehitam malam. Tidak lebih tua dari Katarina. Penampilannya menyerupai bangsawan, rompi krem dipadu dengan jas cokelat tua. Wajahnya tirus, rahangnya tajam dan memiliki kebengisan sama seperti pembunuh Ayah. Namun, entah bagaimana, wajahnya tampak tampan sekaligus mematikan. Keindahan yang ditemukan pada bunga-bunga beracun.          

Pembunuh Ayah mengembalikan pisau ke balik sakunya. Suara itu melegakan detak jantung Katarina. "Kuharap kau membawa kabar baik, Duke." Duke—nama sandi pria baru tersebut.

            Apabila Duke terkejut melihat Katarina, ia sama sekali tidak menunjukkannya. "Stravos. Apa yang wanita itu lakukan di sini?"

            "Tidakkah kau mendengar kabarnya? Dua cecunguk bodoh itu keliru mengira wanita ini sang tuan putri." Stravos—pembunuh ayah—berbalik menghadap Duke.

            Duke mendelik ke dua pria yang sedari tadi tidak diam membicarakan emas. Sebelum mereka dapat melonjak terkejut, Duke mencekik seorang pria. Kesiap Katarina tertahan kain di mulutnya, melihat Duke dengan mudah mengangkat pria itu ke udara. Seakan-akan pria itu tidak lebih dari sekadar kain perca. "Apa gunanya aku membantai prajurit-prajurit itu jika menculik seorang putri saja kau tidak bisa?"

            Pria itu berusaha bersuara, tetapi yang keluar tidak lebih dari sekadar geraman samar. Wajahnya mulai merah kehabisan udara di paru-parunya dan Duke tidak melonggarkan cengkeramannya sedikitpun. Sejurus kemudian, Duke menghantamkan kepala pria itu ke dinding batu di belakangnya. Hantaman itu menyayat genderang telinga Katarina melalui ketukan yang mengerikan. Duk. Duk. Duk. Duk. Dan pada hantaman kelima, Katarina tidak bisa lagi menyusuri garis-garis wajahnya yang berlumuran darah.

            Duke, akhirnya, melepaskan cengkeramannya. Tubuh pria itu jatuh ke lantai, diikuti dengan suara kecipak dan debaman. Tidak lagi bernyawa. Napas Katarina memburu, menyadari ia berada dalam situasi yang berbahaya. Bau darah memabukkan indranya.  Pria satu lagi beringsut menjauh dari tubuh kawannya, ketakutan. Giginya bergemeretak oleh gigil. Matanya membulat nyaris keluar, seolah hendak menghapus pemandangan naas itu.

            Stravos berdecak. "Bodoh. Seharusnya kita tidak merekrut para mantan pidana."

            Mengeluarkan sapu tangan, Duke menyeka cipratan darah di wajah, leher, lalu kedua tangannya. Mata hitamnya bagai jurang yang tiada ujungnya, mematri tatapan pada Katarina. Katarina duduk gelisah, pikirannya sudah lari terbirit-birit, tetapi tubuhnya menetap di sana. Terikat, tidak berdaya. "Kau." Masih belum mematahkan pandangannya dari Katarina, ia berkata, "Urus mayatnya."

            Sejenak, Katarina mengira bahwa Duke berbicara kepadanya sampai pria yang satu lagi kelabakan, menyeret onggokan tubuh kawannya. Sekarang, hanya ada mereka bertiga di dalam ruangan. Mereka berdiri di hadapan Katarina bagai malaikat kematian di penghujung hidupnya. Jika  tatapan bisa membunuh, sudah dipastikan Katarina mati saat itu juga. Namun, Katarina membalas tatapannya, tidak gentar. Jemari panjang itu elegan melipat kembali sapu tangannya ke saku dalam jasnya. Katarina membayangkan jari-jari itu di lehernya, mencekiknya hingga biru, dan seketika, bulu kuduknya meremang. Keringat dingin membasahi punggungnya bagai parasit.

            "Apa kau menemukan cincin itu, Duke?" tanya Stravos.

            Duke mengedikkan kepalanya ke arah Katarina. "Coba kau tanya dia. Aku sudah mengobrak-abrik kamarnya dan tidak menemukan cincin terkutuk itu."

            Dan Katarina sadar bahwa mereka sedang membicarakan cincin itu. Cincinnya. Katarina jadi bertanya-tanya, rahasia apa yang cincin itu bawa sampai orang-orang tega membunuh demi mendapatkannya. Mendapatkan silinder logam sederhana itu. Cincin ini lebih berharga dari apapun di dunia, ayahnya berkata.

KATARINATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang