Epilog

9.2K 587 156
                                    

Thalia duduk bersama Kania di taman utama sore itu. Menikmati semilir angin terakhirnya di Kastil Gemma. Membiarkan aliran angin menyapu pergi bertubi-tubi pikiran di benaknya.

Pertama, mengenai Katarina. Thalia tahu ibu dayangnya itu seorang Dyre, namun ia tidak menyangka bahwa selama ini wanita itu lebih penting dari dugaannya. Tentu saja, Thalia mengerti, sebagai seseorang di posisi penting seperti Lord de Clare, pria itu harus menyimpan rahasia tersebut dengan baik. Reputasi Dyre buruk di mata penduduk Reibeart—Katarina bisa saja dicap penyusup dan dihukum mati.

Saat mengetahui siapa Lawrence sebenarnya, tangan Alec sudah bersiaga di gagang pedangnya. Seorang penyusup tidak bisa dimaafkan. Rakyat Dyre tidak diterima di tanah Reibeart, mengingat tiga puluh tahun lalu, kekaisaran itu memihak kubu yang hendak menggulingkan rezim keluarga kerajaan Reibeart. Tetapi, Thalia menahannya, mengelus tangan suaminya itu sembari berbisik, meyakinkan bahwasanya Lord de Clare merupakan orang kepercayaannya, melindungi benda pusaka meski, dalam prosesnya, nyawanya terenggut. Thalia akan memercayai siapapun yang Lord de Clare percayai. Sebab, musuh utama mereka bukan lagi Kekaisaran Dyre.

Kedua, apa yang Alec katakan benar apa adanya. Betapa keras ia berusaha mengubah dunia, umat manusia tidak akan bahagia tanpa masa lalu mereka. Tanpa pengetahuan akan kekuatan yang, dulu, pernah mereka miliki. Tujuannya untuk menyelamatkan dunia berbalik menyerangnya.

Caiden sadar akan kekuatan yang dimilikinya. Zahl. Hal tersebut mengindikasikan bahwa lebih banyak orang yang mengetahui keberadaan Zahl. Keturunan darah kuno Ksatria Suci yang hidup sebelum Perang Agung dua puluh lima tahun lalu. Seperti halnya ia, Alec, dan para pejuang lainnya. Tubuh mereka masih mengingat aliran kekuatan itu dengan baik, bagaimana menguasai dan menggunakannya. Namun, mereka bersumpah untuk menjadikannya rahasia.

Sebab, kekuatan itu hanya membawa petaka. Sama seperti benda pusaka yang mereka incar. Sekelompok orang misterius dengan tato di punggung mereka. Bukan sembarang tato, melainkan lambang Dewan Kegelapan, Dewan Bayangan, menguasai benda pusaka demi tujuan terkutuk. Thalia pikir Perang Agung sudah memusnahkan semua akar kegelapan. Kejadian empat belas tahun lalu dan hari ini, membuat Thalia sadar bahwa kegelapan tidak pernah benar musnah. Mereka bersembunyi dalam bayang sebelum menampakkan taringnya.

Thalia memandangi semburat jingga di langit. Besok, pagi-pagi sekali, mereka akan melakukan perjalanan ke Kastil Seymour. Sudah menjadi rutinitas keluarga mereka menghabiskan dua bulan musim panas di estat keluarganya. Udara sejuk pedesaan serta dinding-dinding kastil yang membawa nostalgia. Jauh dari hingar-bingar ibukota. Sebuah penyegaran berarti bagi otaknya yang penat. Setidaknya, ia perlu beristirahat sebelum menentukan langkah selanjutnya.

Dari sudut matanya, Thalia menangkap sekelebat goresan di buku sketsa Kania. Semenjak tangan kecil Kania mampu menggenggam kuas, putrinya itu sudah mencintai seni. Ia menikmati dansa daripada keempat saudaranya. Ia memahami isyarat lagu dan tulisan. Ia terenyuh oleh pertunjukan drama. Kania menikmati lukis sebagaimana kesunyian itu menyuarakan sesuatu yang lebih kencang. Wadah bagi Kania bercerita.

Tetapi, tidak sekalipun lukisan Kania menceritakan tentang manusia. Hingga detik itu. "Mata yang indah," ujar Thalia.

Pensil Kania berhenti menggores. Kania menengadahkan kepala dari buku sketsanya. "Ya, Ibu." Dua sudut bibirnya menyunggingkan senyuman. "Mata terindah yang pernah kulihat."

"Ini pertama kalinya kau menggambar manusia." Thalia menggeser bangku dekat anaknya.

"Aku menyadari apa yang Adolphus rasakan saat memandangi Kania of Seymour. Aku sedang melukiskan perasaan tersebut supaya—" Kania berhenti sebentar sebelum melanjutkan, "—aku tidak pernah melupakannya. Sepasang mata itu."

KATARINATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang