Perburuan itu dimulai ketika Ilna menyadari bahwa selama ini Seungcheol bukanlah kakak kandungnya.
Tidak, Seungcheol tidak berbahaya.
Tapi, selalu ada titik hitam yang Seungcheol coba sembunyikan dari Ilna sepanjang hidupnya.
Lalu, mengapa di usiany...
Ilna was-was. Laki-laki ini sungguhan polisi. Ada kartu namanya di dashboard mobil. Lee Dokyeom.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Maaf menakutimu. Aku menemukan alamat IP handphonemu ditempat yang tidak semestinya. Katakan, apa yang kamu lihat." Laki-laki bernama Dokyeom itu masih fokus menyetir dengan membuka percakapan.
Ilna ragu, siapa laki-laki di sampingnya. Layakkah Ilna percayai?
Dokyeom menarik napas. "Percaya padaku. Baik, kau boleh tidak percaya padaku. Tapi kau harus terbuka denganㅡ"
"Pembunuhnya, mengenalku. Dia tau, aku disana."
Dokyeom menghentikan mobilnya di depan sebuah rumah minimalis bercat kuning. Di halaman depannya ada anjing ras chihuahua tengah duduk di atas kain keset.
Ilna bingung, masih linglung. Ia sebatang kara, hanya dalam kurun waktu beberapa jam dalam dua hari ke belakang.
Dokyeom membuka pagar merah, menanti Ilna ikut serta masuk. "Masuklah, nanti akan kuperkenalkan."
Aroma permen vanilla menguar ketika Dokyeom membuka pintu rumah tersebut.
Di ruang depan ada sofa dan sebuah lukisan bunga teratai berwarna merah muda, selebihnya tidak ada. Benar-benar minimalis.
"Hyung!" seru Dokyeom.
Ilna menoleh, menemukan sesosok laki-laki yang bibirnya semerah buah ceri yang sudah matang.
"Oh, sudah datang ya? Mau segelas coklat panas?" tawar laki-laki tersebut.
Ilna mengangguk. Sejujurnya Ilna lapar, luar biasa lapar. Ia belum mengonsumsi apapun setelah angkat kaki dari rumah kakak 'kandung'nya.
"Atau perlu sesuatu yang lebih dari sekadar coklat panas?"
Ilna bergeming, manakah yang harus ia prioritaskan? Sopan atau rasa lapar. "Jika memungkinkan?"
Laki-laki itu tersenyum, pergi masuk kembali ke dalam. Sedang, Dokyeom duduk dihadapan Ilna, menatapnya dari ujung kepala hingga kaki. Kemudian tangannya meraih selembar saputangan dari kantong belakangnya.
"Bersihkan darah di tanganmu,"
Ilna meraih saputangan itu, mengusap tangannya. Lalu, menggenggamnya. Kebaikan orang asing dihadapannya sedikit banyak membuat Ilna gugup.
"Aku sudah meminta agar anak buahku menghilangkan segala bukti yang sempat kau tinggalkan di kamar itu," ujar Dokyeom, tangannya dengan lihai meraih ponsel pintarnya, mengetik sesuatu yang Ilna tidak ketahui.
Tak lama kemudian, laki-laki yang sempat menawarinya coklat panas itu membawa dua mug yang mengepul berisi coklat panas.
Di belakangnya ada wanita cantik mengikuti sambil membawa nampan berisi oyakudon. Meletakkannya di hadapan Ilna, sambil membubuhkan beberapa saos di tempat terpisah.
"Makanlah, kau pasti kelaparan usai melihat pembunuhan."
Ilna mengerjap. "Kalian, bagaimana bisa tau?"
Suatu tanda tanya besar, laki-laki itu. Ilna dan dia belum bertegur sapa, belum saling berkenalan. Seolah dia tahu apa yang akan terjadi.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Jeonghan, Yoon Jeonghan. Ketara sekali kau tengah kebingungan dengan identitasku. Percayalah, bukan aku yang membunuh temanmu," ujar Jeonghan menyeruput coklat panasnya.
Ilna membeku, alur transportasi komunikasi yang ia terima saat ini terlalu padat. Otaknya tidak mau mencerna, tepatnya Ilna enggan menerima segala basa-basi itu.
"Bisakah kalian tidak berbasa-basi denganku? Apa yang terjadi disini? Apa yang terjadi padaku?"